Oleh Afrizal Anoda
Ketika almarhum Heru Emka mengajak saya untuk ikut meramaikan buku kumpulan puisi bertajuk “Suara-suara yang Terpinggirkan”, saya pun meresponnya dengan menyodorkan lima kelompok puisi berjudul, “Hai, Ku!”. Almarhum pun tertawa. “Mas, ternyata Anda bisa bercanda seperti Basho.”
Pada angin yang lupa bertiup,
pada hujan yang mangkir,
pada cinta yang basah,
Berapa hutangku padaMu?
Mencium wangi rambutmu,
rama-rama terbang bergerombol.
Di kantung cuma ada seribu.
Plak!
Terkurung dalam usia,
ingin menyanyi sekali saja.
Atau menyalak.
!
Apakah itu puisi-puisi Haiku? Bukan, dong! Tetapi kata almarhum Heru Emka, “Puisi-puisi Mas itu sudah memiliki roh haiku.” Ah, roh hantu barangkali....
Tahun 1975 silam, Sutadji Calzoum Bachri dan Ikranagara memperkenalkan puisi-puisi Haiku kepada saya waktu kami lagi nongkrong di plaza depan Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Tardji membacakan puisi haiku berbahasa Spanyol. Dan Ikra membacakan haiku versi Sitor Situmorang. Dan saya pun menyambar secara spontan,
Katakan pada Tuhan
seseorang mencariNya
Amin!
“Alaaah, itu bukan Haiku,” kata Tardji.
“Haiku itu tentang Zen,” Ikra mencoba menjelaskan.
***
Sebetulnya, mudah saja menggubah sebuah puisi haiku. Karena pakemnya sudah jelas; terdiri dari tiga baris, baris pertama lima suku kata, baris kedua tujuh suku kata, dan baris ketiga kembali lima suku kata. Tapi sebuah haiku bukan hanya tulisan. Ia juga melukis dengan kata-kata. Ia menyampaikan pesan yang menusuk ke perasaan, pikiran, pengalaman hidup, dan sikap hidup. Karena itu Haiku lebih merupakan catatan pribadi perjalanan hidup penyairnya setiap hari. Dan... haiku itu adalah Zen!
Zen lahir dari pemikiran seseorang untuk mengajari dirinya sendiri. Untuk mengenal dirinya sendiri. Pengalaman hidup adalah dasar utama bagi yang menekuni falsafah Zen. Dengan begitu, seseorang yang paham pada kehidupan yang dijalaninya, maka akan semakin banyak pula pelajaran yang diserapnya.
Di dalam haiku, terdapat beberapa konsep Zen;
• Satori, pengalaman akan pencerahan,
• Mu shin, membatasi segala bentuk ego,
• Jiyu, bebas merasakan,
• Shokokyaka, melihat sampai pada yang paling dasar sebagai sumber dari kehidupan diri sendiri.
Nah, yang lebih berat lagi jika Zen dikaitkan dengan puisi, sastra, maupun bentuk seni lainnya. Karena ada lima prinsip Zen dalam mengukur kualitas suatu karya seni.
- Wabi, bersentuhan dengan moral manusia dalam menikmati hidup yang tenang dan jauh dari godaan duniawi.
- Sabi, cara untuk menikmati ketenangan dan keindahan sunyi.
- Mono no Aware, bagaimana menghargai keindahan pada alam, kehidupan, bahkan terhadap karya seni, dengan rasa yang penuh haru dan emosional.
- Yugen, prinsip ini untuk menguak keindahan, keanggunan, kemurnian, dan ketenangan terhadap suatu misteri kehidupan ini secara mendalam.
- Makoto, sifat ikhlas ketika bereaksi. Baik secara emosional maupun bersifat spontan.
Zen membuat haiku menjadi indah, dan membuat pembacanya dapat memandang dunia secara luas, melihat lukisan kehidupan, dan merasakan emosi yang dalam pada diri sendiri.
Meski begitu, janganlah pula menulis haiku penuh dengan metofora, bergaya abstrak, dan mencari-cari persamaan dengan benda lain untuk memahami pengalaman yang dirasakan penulisnya. Dan jangan pula menjadikan haiku sebagai puisi olok-olok. Seperti yang ditulis anggota grup berikut ini;
pilihlah aku
palsu uang kembali
siap komandan
Uka ngayas umak Aku sayang kami
ngayas ilakes nakhab Sayang sekali bahkan
itap uak kadit Tapi kau tidak
nangkap koruptor
oleh koruptor baru
profesional
Puisi-puisi haiku bukannya tidak ada yang tidak mengundang tawa, tapi bukan pula dimaksudkan sebagai puisi olok-olok.
Terus, apa dong yang harus dilakukan jika ingin menulis puisi haiku. Oke, pakem 5,7,5 itu anggaplah bagian dari pikiran. Otomatis akan menjadi pola begitu seseorang akan menulis haiku. Tapi bagaimana ketika otak lagi buntu?
Inilah menariknya haiku. Cobalah bangun pagi, lakukan ginko (langkah haiku) di sekitar halaman, kebun, pinggir sungai maupun pinggir laut, untuk mendapatkan ide. Nongkrong di wc termasuk dalam ginko. Ingat, momen mendapatkan ide itu berlangsung sekejap. Nah, tangkaplah dan ungkapkan dalam sebuah kigo (kata-kata yang tepat) guna mewakili suasana pada saat ginko. Pakai kata-kata sederhana saja untuk mengungkapkannya. Setiap musim mewakili perasaan penulisnya.
Panas Jakarta
Mekar hitam Ciliwung
Angin berhenti
Sederhana, kan?
Selamat menikmati haiku.
No comments:
Post a Comment