TENTANG HAIKUKU

haikuKu merupakan grup bebas-terbuka. Haiku (俳句?) adalah puisi asli dari Jepang, yang merupakan revisi akhir abad ke-19 oleh Masaoka Shiki dari jenis puisi hokku (発句?) yang lebih tua. Namun puisi mikro ini sudah menjadi milik dunia, siapapun berhak menulis haiku atau hokku. Haiku tidak hanya Matsuo Basho (1644–1694), Onitsura (1661–1738), Yosa Buson (1716–1783), Kobayashi Issa (1763–1827), tapi juga James W. Hackett, Jorge Luis Borges, Cid Corman, Allen Ginsberg, Dag Hammarskjöld, Jack Kerouac hingga Octavio Paz. Mari lewat grup ini kita berapresiasi dan berkarya mendalami haiku. HaikuKu menganut model haiku yang berpola 17 sukukata dalam patron 5-7-5, yaitu:5 suku kata pada baris pertama,7 suku kata pada baris kedua, 5 suku kata pada bari ketiga. Untuk kata ulang tetap dihitung penuh, hati-hati = 4 sukukata, kemana-mana = 5 sukukata, penulisan angka dihitung kata ucapannya, 1 dibaca “satu” = 2 sukukata, 10 dibaca “sepuluh” = 3 sukukata. Untuk kata-kata interjeksi tidak diperkenankan, misal “ah”, “ih”, “hi..hi..”, “hu...hu...”, “ha..ha...ha..”, HaikuKu tidak mengenal rima, irama, namun jika memang diperlukan tidak masalah, haikuKu harus memiliki dasar tradisi budaya Indonesia maupun kedaerahn dalam spiritnya, tidak mewajibkan harus ada penanda musim (Kigo) seperti salju, angin, pagi, batu, air, awan, gunung, rumput, namun jika itu diperlukan tidak masalah, penekanan HaikuKu lebih pada perekamam momentum (suasana , situasi, peristiwa), sensasi pikiran, memiliki kata-kata kias, imaji dan metafora, kekuatan diksi, tidak harus membentuk kalimat diantara barisnya dan memiliki rasa bahasa keindonesiaan. HaikuKu membebaskan pada setiap anggota untuk sekreatif mungkin dalam penampilannya dengan menggunakan gambar background (latar) sebagai daya tarik. Tunjukkan “Ini haikuKu mana haikuMu”

Grafis

Grafis
Haiku Grafis Oceana Lpughie

Sunday 28 December 2014

Kumpulan Haiku Erry Anwar di HaikuKu


KEMARIN

Hari yang berat

Menggerus lahir batin

Sampai seminggu

WAKTU

Hujan bergegas, 

Jatuh ke tanah keras, 

Kau turut pulang

KETIKA

Kau kuatirkan aku

Hangat rasa di dada

Mengembun mata

TIDUR di SUNYI

tidur di sunyi

dengan mata terbuka

mimpi kan mati

tidur di sunyi

dengan mata terbuka

mati kan mimpi

tidur di sunyi

dengan mata terbuka

habis lah mimpi

(e.a desember 2014)



(Haiku baru).

DI - 1234

Di ujung tahun
Kita beradu lutut
Bertaut mata

Di ujung kata
Kita tercekat patah
Putus harapan

Di akhir huruf
Gaungnya menyambar ku
Sisakan gamang

Di ujung nafas
Kita menguji nyali
Meretas hidup

(e.a 24-12-14)

IA MARIA M

Kalau pelacur
Pun nyatanya kau kini
Siapa Maryam ?

SEPERTIGA MALAM

Cahaya terang
Yang dikejar Majusi
Cahaya pulang

 

 

(Haiku lawas).

DUSUN JEMBLUNG

Kabut mengambang
Menyeruak derita
Hujan dan longsor

(e.a 13 des 14)

SEAKAN

sepanjang hari 
aku bertemu engkau 
tak peduli cuaca.

(e.a 15 des 14)

HABIS

Menikam waktu
Mengikat ruang batu
Aku tercekik

(e.a 15 Des 14)

SUNGGUH

wanita batu
sulit untuk dicinta
ku tak peduli.

(e.a 17 Des 14)

SESUDAH SUBUH

Puting beliung
Mengoyak cabik rubuh
Puting susumu

(e.a 18 Des 14)



Wednesday 24 December 2014

Tariq Alfatih

Jejakmu senyap
Instrumental eksotik
Indahlah warna


oh bernyanyilah
sungguh merdu raungmu
wahai egoku 

Akal merintih
Makna tak terperikan
Ah, bertasbihlah

Tuesday 23 December 2014

Mien Ardiwinata Kusdiman

Kulepas peluk
Selamat jalan cinta
Air mata jatuh

Yetti War

sakit hatiku aku tak pernah minta 
mentang mentang ya

2 hrs · 
kamu berkata
aku berkaca-kaca 

lidahmu lunak

kapan kau datang kutunggu depan rumah 
senyum untukmu

pagi hariku
matahari pagiku
indah hariku

Suara gemerecik air
Bagai senandung rindu 

Mengalun berirama

Ah malam Kelam kelabu 
Hitam kelam

Catatan Lutfi Mardiansyah


HAIKU DAN KETIADAAN PUSAT
Terlepas dari aturan atau pakem-pakem haiku, baik itu haiku klasik maupun haiku modern, dalam tulisan singkat ini saya ingin membicarakan satu hal mengenai haiku, yaitu “ketiadaan pusat”. Yang saya maksudkan adalah, dalam konteks ini, kata “pusat” bersinonim dengan “gagasan utama”. Dengan demikian saya ingin membahas ketiadaan gagasan yang, di dalam haiku, terkesan tidak terlalu penting, bahkan seringkali—secara ekstrim—ditolak. Logikanya, ketika gagasan pada sesuatu ditolak, maka ia menjadi sesuatu yang “tanpa gagasan”.
Sebagaimana jenis-jenis puisi seperti diwan, kasidah, ghazal, seringkali digunakan sebagai wadah ekspresi dari ajaran-ajaran sufisme, haiku seringkali dikaitkan dengan ajaran zen. Banyak penyair yang juga penganut ajaran zen menulis koan-koan mereka dalam bentuk haiku—walupun tidak semua. Karena zen dikenal sebagai filsafat kekosongan atau ketiadaan, atau ekstrimnya anti-filsafat, dalam hal ini haiku menjadi semacam perpanjangan dari ajaran tersebut.
Lalu apa yang ditawarkan haiku jika ia tidak menawarkan sebuah gagasan? Jika kita melihat bahwa dari segi isi puisi terbagi ke dalam dua jenis, yakni puisi-gagasan dan puisi-suasana, bisa jadi “suasana”-lah yang dalam hal ini hendak ditawarkan oleh haiku. Haiku menyediakan wadah bagi sesuatu yang “bukan dipikirkan” melainkan “dinikmati”. Haiku menyediakan wadah bagi fragmen-fragmen yang cenderung bersifat impresif daripada kontemplatif. Potongan suasana yang tiba-tiba, yang terlepas dari sebuah mula dan tidak terselesaikan.
Analogi sederhananya sebagai berikut: “seseorang membuka pintu”. Seperti itulah haiku. Haiku tak mengurusi dari mana orang itu sebelum dia membuka pintu dan akan ke mana dia setelah membuka pintu. Haiku hanya menangkap impresi-impresi semisal bunyi derit pintu ketika dibuka.
Dalam fokus pembahasan tersebut saya ingin mengetengahkan haiku karangan Isbedy Stiawan Z S untuk melihat bagaimana ketiadaan gagasan di dalam haiku. Berikut ini haiku-haiku tersebut:
dan hujan tandang
menyeret lampu padam
malam pun hitam

Pada haiku tersebut, Isbedy melukiskan sebuah potongan suasana yang tersusun dari “hujan”, “lampu”, dan “malam”. Di haiku ini Isbedy hanya menggambarkan bagaimana hujan datang (dan hujan tandang), kemudian hujan tersebut “seolah” membuat lampu-lampu padam (menyeret lampu padam) dan ketiadaan penerangan ini mengakibatkan malam menjadi gelap (malam pun hitam). Sudah. Tapi, apakah selesai sampai di situ? Apakah haiku ini hanya menawarkan potongan kejadian, sebuah puzzle berupa “hujan” yang ber-“tandang”, dan—mungkin—saking lebatnya hujan tersebut hingga ia seperti tirai tebal yang menghalangi pandangan kita dari nyala lampu, seolah-olah “lampu” itu “padam” dan hujan itulah yang membuatnya padam, serta pada gilirannya hal tersebut membuat “malam” menjadi gelap, seluruhnya berwarna “hitam”?
Apakah selesai sampai di sana dan hanya seperti itu saja?
Sebab jika kita melakukan pembacaan hermeneutik terhadap teks haiku tersebut maka hasilnya akan lain. Dengan berpegang pada kemiripan konsep, kita bisa membaca “hujan” sebagai suatu “kesedihan”, lalu “lampu (yang) padam” itu sebagai “hilangnya kegembiraan”, kemudian “malam” yang disandingkan dengan “hitam” itu sebagai “kehidupan” yang disandingkan dengan “derita”. Dengan demikian, jika teks haiku tersebut kita baca secara hermeneutik, bisa jadi salah satu tafsiran yang muncul adalah, bahwa haiku tersebut menggambarkan tentang kesedihan yang datang selalu membuat kegembiraan terhapus dan kita merasa hidup kita penuh derita. Justru di sini muncul sebuah gagasan, setidak-tidaknya gagasan mengenai kesedihan sebagai sesuatu yang melenyapkan kegembiraan, bahwa dua hal tersebut—kesedihan dan kegembiraan—ada dalam kerangka oposisi biner di mana, walaupun saling melengkapi, keberadaan yang satu selalu melenyapkan yang lainnya.
Sebagai penutup tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang timbul atas masalah tersebut di atas untuk selanjutnya—mungkin—bisa dijadikan bahan diskusi atau kajian yang lebih menyeluruh: Apakah ketiadaan pusat di dalam haiku itu suatu realitas yang segera terhapus begitu ia berhadapan dengan teori dan metode pengkajian sastra? Ataukah ini adalah sesuatu yang melampaui hal-hal ilmiah dan akademis tersebut? Sesuatu yang sifatnya esoterik?***

Catatan Afrizal Anoda

Hai, Ku!
Oleh Afrizal Anoda
Ketika almarhum Heru Emka mengajak saya untuk ikut meramaikan buku kumpulan puisi bertajuk “Suara-suara yang Terpinggirkan”, saya pun meresponnya dengan menyodorkan lima kelompok puisi berjudul, “Hai, Ku!”. Almarhum pun tertawa. “Mas, ternyata Anda bisa bercanda seperti Basho.”
Pada angin yang lupa bertiup,
pada hujan yang mangkir,
pada cinta yang basah,
Berapa hutangku padaMu?
Mencium wangi rambutmu,
rama-rama terbang bergerombol.
Di kantung cuma ada seribu.
Plak!
Terkurung dalam usia,
ingin menyanyi sekali saja.
Atau menyalak.
!
Apakah itu puisi-puisi Haiku? Bukan, dong! Tetapi kata almarhum Heru Emka, “Puisi-puisi Mas itu sudah memiliki roh haiku.” Ah, roh hantu barangkali....
Tahun 1975 silam, Sutadji Calzoum Bachri dan Ikranagara memperkenalkan puisi-puisi Haiku kepada saya waktu kami lagi nongkrong di plaza depan Teater Terbuka Taman Ismail Marzuki. Tardji membacakan puisi haiku berbahasa Spanyol. Dan Ikra membacakan haiku versi Sitor Situmorang. Dan saya pun menyambar secara spontan,
Katakan pada Tuhan
seseorang mencariNya
Amin!
“Alaaah, itu bukan Haiku,” kata Tardji.
“Haiku itu tentang Zen,” Ikra mencoba menjelaskan.
***
Sebetulnya, mudah saja menggubah sebuah puisi haiku. Karena pakemnya sudah jelas; terdiri dari tiga baris, baris pertama lima suku kata, baris kedua tujuh suku kata, dan baris ketiga kembali lima suku kata. Tapi sebuah haiku bukan hanya tulisan. Ia juga melukis dengan kata-kata. Ia menyampaikan pesan yang menusuk ke perasaan, pikiran, pengalaman hidup, dan sikap hidup. Karena itu Haiku lebih merupakan catatan pribadi perjalanan hidup penyairnya setiap hari. Dan... haiku itu adalah Zen!
Zen lahir dari pemikiran seseorang untuk mengajari dirinya sendiri. Untuk mengenal dirinya sendiri. Pengalaman hidup adalah dasar utama bagi yang menekuni falsafah Zen. Dengan begitu, seseorang yang paham pada kehidupan yang dijalaninya, maka akan semakin banyak pula pelajaran yang diserapnya.
Di dalam haiku, terdapat beberapa konsep Zen;
• Satori, pengalaman akan pencerahan,
• Mu shin, membatasi segala bentuk ego,
• Jiyu, bebas merasakan,
• Shokokyaka, melihat sampai pada yang paling dasar sebagai sumber dari kehidupan diri sendiri.
Nah, yang lebih berat lagi jika Zen dikaitkan dengan puisi, sastra, maupun bentuk seni lainnya. Karena ada lima prinsip Zen dalam mengukur kualitas suatu karya seni.
- Wabi, bersentuhan dengan moral manusia dalam menikmati hidup yang tenang dan jauh dari godaan duniawi.
- Sabi, cara untuk menikmati ketenangan dan keindahan sunyi.
- Mono no Aware, bagaimana menghargai keindahan pada alam, kehidupan, bahkan terhadap karya seni, dengan rasa yang penuh haru dan emosional.
- Yugen, prinsip ini untuk menguak keindahan, keanggunan, kemurnian, dan ketenangan terhadap suatu misteri kehidupan ini secara mendalam.
- Makoto, sifat ikhlas ketika bereaksi. Baik secara emosional maupun bersifat spontan.
Zen membuat haiku menjadi indah, dan membuat pembacanya dapat memandang dunia secara luas, melihat lukisan kehidupan, dan merasakan emosi yang dalam pada diri sendiri.
Meski begitu, janganlah pula menulis haiku penuh dengan metofora, bergaya abstrak, dan mencari-cari persamaan dengan benda lain untuk memahami pengalaman yang dirasakan penulisnya. Dan jangan pula menjadikan haiku sebagai puisi olok-olok. Seperti yang ditulis anggota grup berikut ini;
pilihlah aku
palsu uang kembali
siap komandan
Uka ngayas umak Aku sayang kami
ngayas ilakes nakhab Sayang sekali bahkan
itap uak kadit Tapi kau tidak
nangkap koruptor
oleh koruptor baru
profesional
Puisi-puisi haiku bukannya tidak ada yang tidak mengundang tawa, tapi bukan pula dimaksudkan sebagai puisi olok-olok.
Terus, apa dong yang harus dilakukan jika ingin menulis puisi haiku. Oke, pakem 5,7,5 itu anggaplah bagian dari pikiran. Otomatis akan menjadi pola begitu seseorang akan menulis haiku. Tapi bagaimana ketika otak lagi buntu?
Inilah menariknya haiku. Cobalah bangun pagi, lakukan ginko (langkah haiku) di sekitar halaman, kebun, pinggir sungai maupun pinggir laut, untuk mendapatkan ide. Nongkrong di wc termasuk dalam ginko. Ingat, momen mendapatkan ide itu berlangsung sekejap. Nah, tangkaplah dan ungkapkan dalam sebuah kigo (kata-kata yang tepat) guna mewakili suasana pada saat ginko. Pakai kata-kata sederhana saja untuk mengungkapkannya. Setiap musim mewakili perasaan penulisnya.
Panas Jakarta
Mekar hitam Ciliwung
Angin berhenti
Sederhana, kan?
Selamat menikmati haiku.

Catatan Denny Cholid Rachmat Awan

Denny Cholid Rachmat Awan Semoga bermafaat bagi saya pribadi dan saudara2ku, sabahat2ku, sebagai pengetahuan yang perlu juga dikoreksi oleh saudara2ku di grup Haiku oleh :
Kang Kang Soni Farid Maulana, Kang Diro Aritonang, Kang Yesmil Anwar, Kang Yusef Muldiyana, Kang Igun Prabu, Kang Hikmat Gumelar, Bang Arsyad Indradi, Kang Beni Setia, dan kawan-kawan yang tidak saya sebut semua disini, bilamana ada kekurangan2 mohon dimaafkan tulisan saya ini hanya sebagai refresh saja, dan saya bersyukur semoga dengan kehadiran Kang Lutfi Mardiansyah disini sangat penting buat kita di Haiku bukan sekedar busa dan gincu. Sedikit pengetahuan bagi saya tentang "HAKIKAT KRITIK" semoga kawan-kawan bisa menambahkan dan koreksi : Kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Krinein” yang artinya memisahkan, merinci. Dari bidikan yang dihadapi dengan kenyataannya orang membuat suatu pemisahan, perincian antara nilai dan yang bukan nilai, yang baik dan yang jelek, namun bukan hanya arti susila saja, perlu landasan-landasan untuk menyoroti dalam arti yang sangat luas terhadap menentukan suatu ukuran nilai, yaitu nilai dalam penafsiran, nilai dengan ilmu, kaidah-kaidah atau norma yang menjadi pedoman secara sistematis. Persoalan kritik mempunyai kedudukan yang sangat penting pada kehidupan sosial manusia, karena kritik adalah sebagaimana orang memberikan penilaian atas nilai. Dalam tata kehidupan demokrasi masyarakat, kritik sangat dibutuhkan untuk menilai tentang kebijaksanaan para pemimpin dan para penguasa secara kritis. Seperti terjadi dalam suatu pemilihan umum, yaitu sebagai contoh pemilihan kepemimpinan melalui partai-partainya. Kritik menyoroti wilayah-wilayah tertentu dari suatu praktek kemanusiaan dalam sosialisasinya. Tanpa kritik belum tentu suatu cita-cita sesuai hasil dengan pencapaian harapannya.
Kritik dilontarkan dengan positif ataupun negatif bagai cambuk seakan-akan menjadi penghambat atau ancaman yang dianggap pengrusakan citra pada para pembuatnya, pada sistem struktural sebuah organisasi atau perseorangan dari sebuah nilai kesucian dan kemurnian hasil karya. Bisa juga kritik menjadi doping atau stimulus untuk mencapai harapan masa depan lebih baik dari yang sudah-sudah. Seorang kritikus sudah tentu harus mengerti hakekat kritik, sifat-sifat kritik dan persyaratan bagaimana melakukan kritik. Kendati demikian bukan tugas yang mudah ketika kritik itu harus diutarakan dan bahwa kritik yang benar adalah suatu nilai dasar untuk kemajuan eksistensi perbuatan kemanusiaan. Menjadi seorang kritikus berkualitas mempunyai disiplin ilmu untuk mempelajari dan memahami bagaimana menyoroti dan melontarkan kritik-kritiknya supaya tepat sasaran terhadap yang dinilainya atas perbuatan-perbuatan yang bisa ditangkap dan tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, seperti yang dilakukan seorang filsuf, agamawan dan masyarakat religius secara spirituil berfikir tentang ketuhanan. Bagaimana kita mengkritisi terhadap seorang hakim menvonis perbuatan seorang terdakwa, pemimpin negara mengatur rakyatnya, seorang seniman bagaimana ia menghasikan karya seni yang diciptakannya. Demikian macam-macam kritik diarahkan bukan serta merta seorang kritikus menjadi dewa terkesan lontaran caci-maki, opini, bisikan-bisikan, gunjingan sebagai kutukan yang gerah, akan tetapi menjadikan spirit dan titik terang mendorong lebih maju untuk melahirkan formula-formula baru dan inovasi pada kemajuan bangsa dan negara, serta satu contoh pada karya seni lebih bermutu sekaligus eksistensi para senimannya.

Lutfi Mardiansyah


 


(Ini bukan Haiku tapi puisi pendek)

SABDA ASBAK

Seperti inilah kelak;
tubuhmu mengabu,
ruhmu mengasap.
2013

Monday 22 December 2014

Sopyan Tsauri‎

 

Srangenge nu meletek
Ngukir siluet
Totonden kahirupan

Gibrigkeun awak
Suku leungeun diajak
Tegal mayakpak

Situ ngagenclang
Runggunuk pasir gunung
Ngembat walungan

Lir nyayagian
Nu bela jeung rumawat
Naon deui kakurang ?

Keur nu sarakah
Kakayon digaradah
Ngahudang caah

Kokom Komariah

Kasih nan tulus
lupakan kepahitan
demi anakmu

Didik Raharjo

 
Di Natal ini
Aku hanya berdoa
Jadikan hening

ARTIKEL IGUN PRABU

Haiku Religi dan Sumber Penyembuhan Diri
1.Sastra Religi
Menangkap Moments Spiritual "sesaat"
David Rosen memberikan catatan kecil pada bukunya The Healing Spirit of Haiku (North Atlantic Books 2004) tentang bagaimana manusia menangkap moment dan mengangkat moment tersebut menjadi sebuah ritus kehidupan yang baru "This is not a book about the history of haiku or how to write them. This is not a self help book in the usual sense, but rather a non-self (beyond the ego) healing volume that ideally helps one to realize that we are alone, yet inter-connected. This book values haiku moments [and] following the Creative. It also underscores the philosophy: "Moments, moments, that is life." David Rosen
bila diartikan mungkin seperti ini bunyinya "Ini bukan buku tentang sejarah haiku atau bagaimana menulis mereka. Ini bukan buku membantu diri sendiri dalam arti biasa, melainkan non-diri (di luar ego) Volume penyembuhan yang idealnya membantu seseorang untuk menyadari bahwa kita sendiri, namun saling terkait. Buku ini memiliki nilai saat haiku [dan] mengikuti Kreatif. Hal ini juga menggarisbawahi filosofi: ". Beberapa saat, saat, yang hidup" David Rosen
Apa yang dilakukan David Rosen di atas dapat dijadikan alternatif bagi khazanah sastra religi kita yang terkungkung dua kecenderungan utama. Pertama, cenderung dibatasi oleh benturan antara agama yang terlalu memandang ke akhirat dengan tuntutan realitas sosial di dunia yang ternyata (semakin)pahit,Kedua, terpaku pada tema sufisme yang cenderung spiritual, di mana Tuhan hadir melalui penghayatan psikologi yang (seakan-akan) bertentangan dengan pengetahuan rasional, sehingga corak karyanya cenderung gelap dan absurd
Dua kecenderungan itu tidak buruk. Namun "bahaya"bila sastra religi kita selalu dan melulu terkungkung olehnya,selain eksplorasinya bersifat permukaan (dangkal).maka Teologi dan mistisismenya(pun) bukan pengalaman batin semata, melainkan juga pengalaman filosofis,lalu keduanya di(lahir)kan untuk berdiri di atas landasan nalar tertentu yang sumbernya bahkan jauh di luar religi.
2.Sastra Religi
Haiku Sebagai Obat"Mujarab"
Spiritualitas David Rosen dalam kumpulan Haiku nya adalah resultan dari dua paradoks di atas. Seorang yang mampu menjadi penyembuh untuk Dirinya Sendiri,maka ia telah mencapai semacam jiwa universal yang ilahi. Kondisi semacam itu oleh David disebut meta-psikosis.atau semacam penyatuan Tuhan dengan Makhluknya (unity of God) dalam konsep filosofi mistisnya ibnu arabi dikenal sebagai wahdatul wujud di kejawen "Manunggaling Kawula Gusti dan dalam teologi Sufistis Sunda menamainya "KawulaGusti" kawula memilik makna Aku dan Gusti berarti Tuhan. namun yang menarik,David dalam buku The Healing Spirit of Haiku nya itu ia menafsir gagasan Spiritual Agama itu dengan tidak melahirkan sebagai gagasan khas teologi khas spiritual yang selalu kita dapatkan dalam khazanah sastra Religi kita,ia cenderung banyak memainkan peran ayat ayat kitab dengan banyak menggantinya sebagai Mantra mantra penyembuh sebagai alat atau Media untuk mencapai tahap penghayatan hidup yang melampaui batas iman daripada agama yang di Imani nya tersebut."This volume is a haibun of the psyche, that is, a journey into spirit and nature. There is prose about periods of melancholy that I've suffered and the healing haiku that resulted." "Laporan ini merupakan haibun dari jiwa, yaitu sebuah perjalanan ke roh dan alam. Ada prosa tentang periode melankolis bahwa saya telah menderita dan haiku adalah penyembuhan yang dihasilkan.
bagi David pengertian Menderita adalah sebuah kesan yang paling mendasar yang mampu dia jadikan sebagai ide dan gagasan untuk menemukan konsepsi penyembuhan, dalam Haiku ia menuliskan
Dawn on a spring sea
Then a glittering
From a thousand jumping fish
dalam agama dan keyakinan yang saya anut konsepsi dan pemaknaan semisal bersyukur,meminta maaf dan memberikan maaf yang disertai rasa ikhlas dan bertafakur (pun) bisa menjadi sebuah Haibun dari jiwa atau dalam bahasa David itu adalah saat saat kita menemukan situasi atau periode Melankolis tinggal apakah kita mampu menuliskannya dalam bentuk Haiku lalu sekuat tenaga mengamalkannya dalam realitas kehidupan,nenek moyang kita sudah menjalaninya ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu meski dalam bentuk yang lain semisal di sunda saya mengenal istilah "Jangjawokan"
3.Teori "Jangjawokan"
bersambung ahh.. tunduh

https://www.facebook.com/groups/haikuku/permalink/927465693939501/

Sunday 21 December 2014

Karya-Karya Kontes HaikuKu1



:
Ersa Sasmita
#‎KoKu 1
Langit semarak
borjuis pesta mewah
rakyat nelangsa

Ayie Bukhary
#koku 1
baru hitungan
tambah kekurangannya
keriput tampak

Lintang Nilakandi
‪#‎koku1
Karnaval dosa
Malam ujung Desember
Allahu Akbar!

Bambang Hardiwianto
‪#‎koku1
Pesta maksiat
langkah warsa merambat
sekian laknat


Karsih Khotibah
‪#‎koku1
Balada mercon
hempas almanak lalu
bumi berjanggut

Farid Junaidi
‪#‎koku1
Pemancing tambak
Malam tahun barupun
Tinggalkan istri

Sopyan Tsauri
‪#‎Koku 1
Hingar bingarnya
Satu terompet saja
Pecahkan sepi

Grafis Yanto

Grafis Yanto
Haiku Grafis Sudiyanto Admipro

Kumpulan Haiku Aghan S Parmin

Aghan S Parmin
malam datanglah
hati sunyi meraja
pintu bukalah

sampit, 12 2014

bintang berkedip
malam bak rahim bunda
mengadam-hawa

sampit, 12 2014

subuh mengembun
pagi tabur cahaya
burung terbanglah

sampit, 12 2014

malam meluruh
gelap menyimpan intan
bumi terengkuh

Sampit, 12 2014

gelembung busa
angin riuh berlalu
tangan kosonglah

sampit, 12 2014

layang melayang
dalam kendali tangan
aku layang kau

sampit, 12 2014

disinar bulan
daun sepuhan perak
hanyutku haiku

sampit, 12 2014

bulan cemerlang
bumi indah cahaya
aku dalam Hai

sampit, 12 2014

sehabis hujan
pohon-pohon menghening
batu tak gigil

sampit, 12 2014

Ed Jenura

Ed Jenura
Haiku Grafis Ed Jenura

Yuharno Uyuh


HAIKU 1

Menerjang peluh
Meregang tangis zaman
Kelu menahun


HAIKU 2

Tangis sang renta
Langit pekat bergetar
Anak pendosa

HAIKU 3

langit memerah

di pusara istana

gagak menjerit


HAIKU 4

merenda mimpi
raih setumpuk toga
mati berdasi


HAIKU 5

tangis sang ibu
di keheningan malam
langit bergetar


HAIKU 6

di sudut panggung
kecapiku membisu
gitar berjingkrak



Catatan Lutfi Mardiansyah

HAIKU DAN KETIADAAN PUSAT

Terlepas dari aturan atau pakem-pakem haiku, baik itu haiku klasik maupun haiku modern, dalam tulisan singkat ini saya ingin membicarakan satu hal mengenai haiku, yaitu “ketiadaan pusat”. Yang saya maksudkan adalah, dalam konteks ini, kata “pusat” bersinonim dengan “gagasan utama”. Dengan demikian saya ingin membahas ketiadaan gagasan yang, di dalam haiku, terkesan tidak terlalu penting, bahkan seringkali—secara ekstrim—ditolak. Logikanya, ketika gagasan pada sesuatu ditolak, maka ia menjadi sesuatu yang “tanpa gagasan”.

Sebagaimana jenis-jenis puisi seperti diwan, kasidah, ghazal, seringkali digunakan sebagai wadah ekspresi dari ajaran-ajaran sufisme, haiku seringkali dikaitkan dengan ajaran zen. Banyak penyair yang juga penganut ajaran zen menulis koan-koan mereka dalam bentuk haiku—walupun tidak semua. Karena zen dikenal sebagai filsafat kekosongan atau ketiadaan, atau ekstrimnya anti-filsafat, dalam hal ini haiku menjadi semacam perpanjangan dari ajaran tersebut.

Lalu apa yang ditawarkan haiku jika ia tidak menawarkan sebuah gagasan? Jika kita melihat bahwa dari segi isi puisi terbagi ke dalam dua jenis, yakni puisi-gagasan dan puisi-suasana, bisa jadi “suasana”-lah yang dalam hal ini hendak ditawarkan oleh haiku. Haiku menyediakan wadah bagi sesuatu yang “bukan dipikirkan” melainkan “dinikmati”. Haiku menyediakan wadah bagi fragmen-fragmen yang cenderung bersifat impresif daripada kontemplatif. Potongan suasana yang tiba-tiba, yang terlepas dari sebuah mula dan tidak terselesaikan.

Analogi sederhananya sebagai berikut: “seseorang membuka pintu”. Seperti itulah haiku. Haiku tak mengurusi dari mana orang itu sebelum dia membuka pintu dan akan ke mana dia setelah membuka pintu. Haiku hanya menangkap impresi-impresi semisal bunyi derit pintu ketika dibuka.

Dalam fokus pembahasan tersebut saya ingin mengetengahkan haiku karangan Isbedy Stiawan Z S untuk melihat bagaimana ketiadaan gagasan di dalam haiku. Berikut ini haiku-haiku tersebut:

dan hujan tandang
menyeret lampu padam
malam pun hitam

Pada haiku tersebut, Isbedy melukiskan sebuah potongan suasana yang tersusun dari “hujan”, “lampu”, dan “malam”. Di haiku ini Isbedy hanya menggambarkan bagaimana hujan datang (dan hujan tandang), kemudian hujan tersebut “seolah” membuat lampu-lampu padam (menyeret lampu padam) dan ketiadaan penerangan ini mengakibatkan malam menjadi gelap (malam pun hitam). Sudah. Tapi, apakah selesai sampai di situ? Apakah haiku ini hanya menawarkan potongan kejadian, sebuah puzzle berupa “hujan” yang ber-“tandang”, dan—mungkin—saking lebatnya hujan tersebut hingga ia seperti tirai tebal yang menghalangi pandangan kita dari nyala lampu, seolah-olah “lampu” itu “padam” dan hujan itulah yang membuatnya padam, serta pada gilirannya hal tersebut membuat “malam” menjadi gelap, seluruhnya berwarna “hitam”?

Apakah selesai sampai di sana dan hanya seperti itu saja?

Sebab jika kita melakukan pembacaan hermeneutik terhadap teks haiku tersebut maka hasilnya akan lain. Dengan berpegang pada kemiripan konsep, kita bisa membaca “hujan” sebagai suatu “kesedihan”, lalu “lampu (yang) padam” itu sebagai “hilangnya kegembiraan”, kemudian “malam” yang disandingkan dengan “hitam” itu sebagai “kehidupan” yang disandingkan dengan “derita”. Dengan demikian, jika teks haiku tersebut kita baca secara hermeneutik, bisa jadi salah satu tafsiran yang muncul adalah, bahwa haiku tersebut menggambarkan tentang kesedihan yang datang selalu membuat kegembiraan terhapus dan kita merasa hidup kita penuh derita. Justru di sini muncul sebuah gagasan, setidak-tidaknya gagasan mengenai kesedihan sebagai sesuatu yang melenyapkan kegembiraan, bahwa dua hal tersebut—kesedihan dan kegembiraan—ada dalam kerangka oposisi biner di mana, walaupun saling melengkapi, keberadaan yang satu selalu melenyapkan yang lainnya.

Sebagai penutup tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang timbul atas masalah tersebut di atas untuk selanjutnya—mungkin—bisa dijadikan bahan diskusi atau kajian yang lebih menyeluruh: Apakah ketiadaan pusat di dalam haiku itu suatu realitas yang segera terhapus begitu ia berhadapan dengan teori dan metode pengkajian sastra? Ataukah ini adalah sesuatu yang melampaui hal-hal ilmiah dan akademis tersebut? Sesuatu yang sifatnya esoterik?***

Denny Cholid Rachmat Awan

Semoga bermafaat bagi saya pribadi dan saudara2ku, sabahat2ku, sebagai pengetahuan yang perlu juga dikoreksi oleh saudara2ku di grup Haiku oleh :
Kang Kang Soni Farid Maulana, Kang Diro Aritonang, Kang Yesmil Anwar, Kang Yusef Muldiyana, Kang Igun Prabu, Kang Hikmat Gumelar, Bang Arsyad Indradi, Kang Beni Setia, dan kawan-kawan yang tidak saya sebut semua disini, bilamana ada kekurangan2 mohon dimaafkan tulisan saya ini hanya sebagai refresh saja, dan saya bersyukur semoga dengan kehadiran Kang Lutfi Mardiansyah disini sangat penting buat kita di Haiku bukan sekedar busa dan gincu. Sedikit pengetahuan bagi saya tentang "HAKIKAT KRITIK" semoga kawan-kawan bisa menambahkan dan koreksi : Kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Krinein” yang artinya memisahkan, merinci. Dari bidikan yang dihadapi dengan kenyataannya orang membuat suatu pemisahan, perincian antara nilai dan yang bukan nilai, yang baik dan yang jelek, namun bukan hanya arti susila saja, perlu landasan-landasan untuk menyoroti dalam arti yang sangat luas terhadap menentukan suatu ukuran nilai, yaitu nilai dalam penafsiran, nilai dengan ilmu, kaidah-kaidah atau norma yang menjadi pedoman secara sistematis. Persoalan kritik mempunyai kedudukan yang sangat penting pada kehidupan sosial manusia, karena kritik adalah sebagaimana orang memberikan penilaian atas nilai. Dalam tata kehidupan demokrasi masyarakat, kritik sangat dibutuhkan untuk menilai tentang kebijaksanaan para pemimpin dan para penguasa secara kritis. Seperti terjadi dalam suatu pemilihan umum, yaitu sebagai contoh pemilihan kepemimpinan melalui partai-partainya. Kritik menyoroti wilayah-wilayah tertentu dari suatu praktek kemanusiaan dalam sosialisasinya. Tanpa kritik belum tentu suatu cita-cita sesuai hasil dengan pencapaian harapannya.
Kritik dilontarkan dengan positif ataupun negatif bagai cambuk seakan-akan menjadi penghambat atau ancaman yang dianggap pengrusakan citra pada para pembuatnya, pada sistem struktural sebuah organisasi atau perseorangan dari sebuah nilai kesucian dan kemurnian hasil karya. Bisa juga kritik menjadi doping atau stimulus untuk mencapai harapan masa depan lebih baik dari yang sudah-sudah. Seorang kritikus sudah tentu harus mengerti hakekat kritik, sifat-sifat kritik dan persyaratan bagaimana melakukan kritik. Kendati demikian bukan tugas yang mudah ketika kritik itu harus diutarakan dan bahwa kritik yang benar adalah suatu nilai dasar untuk kemajuan eksistensi perbuatan kemanusiaan. Menjadi seorang kritikus berkualitas mempunyai disiplin ilmu untuk mempelajari dan memahami bagaimana menyoroti dan melontarkan kritik-kritiknya supaya tepat sasaran terhadap yang dinilainya atas perbuatan-perbuatan yang bisa ditangkap dan tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, seperti yang dilakukan seorang filsuf, agamawan dan masyarakat religius secara spirituil berfikir tentang ketuhanan. Bagaimana kita mengkritisi terhadap seorang hakim menvonis perbuatan seorang terdakwa, pemimpin negara mengatur rakyatnya, seorang seniman bagaimana ia menghasikan karya seni yang diciptakannya. Demikian macam-macam kritik diarahkan bukan serta merta seorang kritikus menjadi dewa terkesan lontaran caci-maki, opini, bisikan-bisikan, gunjingan sebagai kutukan yang gerah, akan tetapi menjadikan spirit dan titik terang mendorong lebih maju untuk melahirkan formula-formula baru dan inovasi pada kemajuan bangsa dan negara, serta satu contoh pada karya seni lebih bermutu sekaligus eksistensi para senimannya. Salam Haiku.

TULISAN HIKMAT GUMELAR

DI KUBUR ATAU DI RANJANG?
Ilmu pengetahuan bekerja dengan klasifikasi. Kerja ini
memungkinkan abstraksi. Abstraksi memungkinkan teori dan metodologi. Teori dan metodologi memberi jaminan pasti. Tapi klasifikasi kerap hanya mengambil salah satu identita
s realitas dan menjadikannya arca yang diklai sebagai satu-satunya identitas. Identitas-identitas realitas yang lain kerap sengaja ditindas demi kemudahan dan kerapihan melakukan klasifikasi dan abstraksi, menyusun teori dan metodologi.
Maka, ilmu pengetahuan potensial menyesatkan, potensial menghancurkan. Sajarah bahkan sudah banyak membuktikan kebiadabannya. Misalnya, antropologi pernah lama menganggap bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bangsa primitf, tidak beradab, karenanya mesti diadabkan. Ilmu sejarah sendiri
selama berabad-abad menganggap bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa silam berdasarkan arsip. Di luar arsip, bukan sumber sejarah. Dan sejarah yang disusun berdasarkan sumber-sumber lisan dianggap bukan sejarah, dianggap sebagai
tahyul. Anggapan ini memungkinkan lahirnya kolonialisme dan neokolonilisme yang hingga hari ini masih terus beroperasi.
Potensi buruk ilmu pengetahuan akan semakin besar jika
melihat kondisi hari ini. Ini hari arus perubahan sebegitu deras. Informasi melebihi gelombang tsunami. Gelombang tsunami menerjang dalam rentang waktu tertentu yang tak berlebih mungkin jika disebut cukup lama. Dan datangnya dari satu arah. Sementara gelombang informasi ini hari meluap dan menyergap di setiap
tarikan napas dan dari berbagai arah. Ini kondisi yang memungkinkan semakin banyak orang seperti ditulis Chairil Anwar dalam “Catatan Th. 1946:
Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Karena itu, yang disebut data-data sekalipun, yang disebut
fakta-fakta sekalipun, selalu hanya sejumput. Hal ini karena pengumpulannya dilakukan seperti oleh “anjing diburu”. Begitu pula perenungannya, yang karuan bukan di tepian tasik yang tenang, melainkan di tengah arus deras perubahan dan luapan dan sergapan gelombang informasi dari berbagai arah yang tak sudah-sudah. Belum lagi jika mengingat bahwa yang dinamakan “data” dan “fakta” adalah buah kesepakatan segolongan orang. Segolongan orang ini tentu saja bukan malaikat. Mereka tida nirkepentingan. Dan mereka pun selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu yang karuan pula memengaruhi caranya memandang. Dengan demikian, jikapun ditemukan kebenaran, makna, dan arti, itu senantiasa parsial, senantiasa sementara. Konsekuensinya memang bukan sama sekali menafikan ilmu pengetahun, bukan anti-ilmu pengetahuan. Tapi jauhkanlah sikap menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai berhala. Bukalah selalu mata bahkan ketika tidur. Teliti dengan cermat, jernih, dan rendah hati setiap pijakan, langkah, dan temuan. Dunia ini sedemikian luas dan otak siapa pun hanya sekepalan bayi. Perkara bertambah lagi jika yang ditulis Chairil itu benar bahwa “kita hanya melihat dari sebagian sandiwara sekang. Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”. Ini karena kita di abad ke-21 ini seperti “Anjing diburu”.
Saya merasa perlu menulis begitu setelah membaca teks yang
diniatkan oleh Lutfi Mardiansyah sebagai kritik sastra. Sebetulnya saya enggan masuk dalam perdebatan yang dimulai oleh ayunan palu hakim dan lalu disusul oleh banyak semburan derau. Saya telah mencoba sebentar meredakan meski semata karena saya merasa Lutfi menyapa saya. Percobaan itu saya lakukan dengan
menyelipkan kutipan utuh “Gunung-Gunung”, puisi Emily Dickinson, dalam dalam komentar saya untuk Teh Meycha. Puisi bagus yang diterjemahkan dengan bagus oleh Gunawan Mohamad itu, hemat saya, relevan untuk hadir di tengah ayunan palu dan semburan-semburan derau. Tapi “Gunung-Gunung” itu rupanya tak didaki.
Padahal, seingat saya, saya pun sudah menulis sedikit kisah mengenai kenapa sampai Emily baru dikenal sebagai penyair brilian di Amerika Serikat, bahkan kemudian dunia, setelah dia mangkat.
Sebenarnya komentar Kang Beni Setia sudah menunjukkan kekurangan mendasar dari teks Lutfi itu. Dengan cukup gamblang Kang Beni mengatakan bahwa teks Lutfi itu dibangun di atas pandangan yang menyamaratakan, gebyah uyah. Semua haiku diandaikan “tidak ada pusat”, yang berarti “tidak ada gagasan”.
Jika saja itu dibaca dengan mata terbuka, cukup sudah. Goyah itu yang mengklaim sebagi teks ilmiah. Namun, seperti “Gunung-Gunung”, itu pun seperti dilewat begitu saja. Maka, mencuatlah tanya, kenapa bisa demikian? Apa yang memungkinkannya?
Saya merasa bebal. Saya gagal menemukan jawab. Saya hanya
semata bisa menduga, jangan-jangan muasal perkaranya dari penjadian pemilahan yang populer di tahun 70-an, yakni soal puisi suasana dan puisi gagasan, sebagai pijakan. Dan pemakaian pemilahan ini sebagai pijakan dibeking oleh pandangan mengenai puisi yang terdiri dari isi dan wadah seperti air dan ember. Menurut Lutfi, isi puisi itu ada dua, yakni gagasan dan suasana. Berdasarkannya, disebutkannya lah bahwa semua haiku adalah berisi suasana. Lalu diperkuat dengan menyebut kebertautan haiku dengan Zen yang punya tradisi koan. Saya merasa tak perlu lompat jauh-jauh ke sejarah perkembangan haiku, terlebih dengan mengaitkannya dengan Zen dan koan. Cukup rasanya dengan kita menyoal perkara puisi yang seperti air dan ember serta isi puisi yang terdiri dari suasana dan gagasan. Apakah iya puisi bisa dijadikan
terpisah antara wadah dan isi? Dan, sebenarnya pertanyaan ini tak perlu diajukan karena andaian yang mendasarinya sudah ilusif, apakah iya isi puisi hanya suasana dan gagasan? Apa yang dimaksud gagasan? Apa yang dimaksud suasana? Apa dalam suasana mustahil ada gagasan? Apa dalam gagasan mustahil
mengahdirkan suasana? Apa pula tak ada lain di luar gagasan dan suasana?
Kecuali itu, Lutfhi pun mengklaim memakai hermenetik untuk
menjalankan penafsiran lapis kedua terhadap karya Mas Isbedy. Sementara dia mengatakan bahwa haiku adalah karya tanpa pusat. Jika mau konsisten, menggunakan hermenit untuk mebaca karya yang konon tanpa pusat itu slangkah baik untuk hati-hati. Pasalnya, sila ingat sejarah hermenetik, juga tokoh-tokohnya. Dari situ terang bahwa hermenetik itu mengandaikan adanya kebenaran utama. Itu yang harus diburu. Saya dengar, pendekatan ilmiah itu wajib menjelaskan istilah-isitilah kunci. Penjelasan itu wajib meniadakan acuan ganda, wajib meniadakan mabiguitas. Kewajiban ini rasanya belum dipenuhi Lutfi. Masih banyak yang sebetulnya perlu dipersoalkan. Namun itu saja rasa-rasanya sudah lebih
dari cukup, apalagi dua baris “Catatan Th. 1946” itu sudah sangat terang mengingatkan kita. Atau biar tak terlewat pula kita petik saja lagi, ya:
Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

SDFK

KIRIMAN DARI SDFK

Mien Ardiwinata Kusdiman

SDFK # Bayang Bayang Sepanjang Badan #

malam kembali hening
seperti malam kemarin
dan kemarinnya lagi
hujanpun terus menderas
dari malam kemarin
dan kemarinnya lagi
menggigil aku kedinginan
walau sudah berselimut tebal
mestinya kamu ada disini..
tapi aku sangat tahu
kau sudah ada disana
dan aku harus tetap disini
semuanya harus seperti ini
kita berpisah sayang..

hingga larut tak jua aku terlelap
aku tidur dikamar kita
dengan sprei putih berenda
dan aroma bunga sedap malam yang kamu suka
dinding kamar cantik kita
bertaburan kenangan silam
ada kamu dan aku dalam pigura waktu
semua bercerita tentang kita
cerita silam sangat indah
ketika bersamamu..
aku sangat bahagia
walau ada air mata
tak semua tangis artinya sakit
tak semua air mata adalah duka
terimakasih buatmu kekasih
yang telah mengisi indahnya hari hariku
sekian lama.. dengan janji dan cinta tulus
dalam meniti dari waktu ke waktu
hingga pelukan terakhir kita

( revisi puisi celoteh hati - resminiardiwinata - januari 2013 )