TENTANG HAIKUKU

haikuKu merupakan grup bebas-terbuka. Haiku (俳句?) adalah puisi asli dari Jepang, yang merupakan revisi akhir abad ke-19 oleh Masaoka Shiki dari jenis puisi hokku (発句?) yang lebih tua. Namun puisi mikro ini sudah menjadi milik dunia, siapapun berhak menulis haiku atau hokku. Haiku tidak hanya Matsuo Basho (1644–1694), Onitsura (1661–1738), Yosa Buson (1716–1783), Kobayashi Issa (1763–1827), tapi juga James W. Hackett, Jorge Luis Borges, Cid Corman, Allen Ginsberg, Dag Hammarskjöld, Jack Kerouac hingga Octavio Paz. Mari lewat grup ini kita berapresiasi dan berkarya mendalami haiku. HaikuKu menganut model haiku yang berpola 17 sukukata dalam patron 5-7-5, yaitu:5 suku kata pada baris pertama,7 suku kata pada baris kedua, 5 suku kata pada bari ketiga. Untuk kata ulang tetap dihitung penuh, hati-hati = 4 sukukata, kemana-mana = 5 sukukata, penulisan angka dihitung kata ucapannya, 1 dibaca “satu” = 2 sukukata, 10 dibaca “sepuluh” = 3 sukukata. Untuk kata-kata interjeksi tidak diperkenankan, misal “ah”, “ih”, “hi..hi..”, “hu...hu...”, “ha..ha...ha..”, HaikuKu tidak mengenal rima, irama, namun jika memang diperlukan tidak masalah, haikuKu harus memiliki dasar tradisi budaya Indonesia maupun kedaerahn dalam spiritnya, tidak mewajibkan harus ada penanda musim (Kigo) seperti salju, angin, pagi, batu, air, awan, gunung, rumput, namun jika itu diperlukan tidak masalah, penekanan HaikuKu lebih pada perekamam momentum (suasana , situasi, peristiwa), sensasi pikiran, memiliki kata-kata kias, imaji dan metafora, kekuatan diksi, tidak harus membentuk kalimat diantara barisnya dan memiliki rasa bahasa keindonesiaan. HaikuKu membebaskan pada setiap anggota untuk sekreatif mungkin dalam penampilannya dengan menggunakan gambar background (latar) sebagai daya tarik. Tunjukkan “Ini haikuKu mana haikuMu”

Grafis

Grafis
Haiku Grafis Oceana Lpughie

Wednesday 17 December 2014

Membahas Haiku Denok Indriyaty Pramesty

‪#‎HAIKU‬# Denok Indriyaty Pramesty
Kulepas, ingin
Berselimutkan madu
Manis kujilat

Pupil menyempit
Meronta dua sukma
Jemput syurgaku

  • Diro Aritonang DISKUSI SPESIAL : Jika dalam pembahasan kita sudah menampilkan Hikmat Gumelar, Ganjar Kurnia , dan Beni Setia, kini giliran yang muda Denok Indriyaty Denok Indriyaty Pramesty, Denok sempat blusukan sebagai jurnalis, juga mengemari fotografi, kini lebih berkonsentrasi pada penulisan buku. Dalam haikuKu, ada hal yang menonjol dalam mengeksplorasi perasaan, tentang sisi kewanitaannya, maupun pikirannya yang jernih. Kita ambil dua haikunya yang cukup menarik bisa kita bahas. haikuKu berharap seluruh anggota punya hak untuk ikut membahas, bertanya langsung pada haikuisnya, namun haikuKu akan mengundang beberapa teman untuk sedikit memberi pandangan, mulai dari kang Hikmat Gumelar, Kang Ganjar Kurniar, Bang Yesmil Anwarl, Kang Beni Setia, Kang Soni Farid Maulana, Bang Isbedy Stiawan Z S , Abah Ki Hasan,Kang Igun Prabu, Ersa Sasmita, Bang Iwan Soekri, Kang Sudiyanto Admipro, dan semua yang tertarik. Silahkan, kita mulai dari sekarang hingga pukul OO.OO Wib.

  • Ipit Saefidier Dimyati wah, rayuan yang edun euy... hehehe

  • Diro Aritonang Kang Acep Zamzam Noor II, beri pandangan, colek haikunya ini...

  • Ganjar Kurnia Membangkit hayal

  • Diro Aritonang Kang Ipit Saefidier Dimyati, tong LIKE ungkul, saetik dicolek haikuna

  • Yusef Muldiyana Garfisnya apa puisi haikunya yang dibahas?

  • Diro Aritonang Haikunya atuh mang nu kasep

  • Sudiyanto Admipro Graphis nya kan bang Diro Aritonang

  • Yusef Muldiyana Tapi sesuai sama grafisnya. Bisa mengandung banyak arti. Bisa lari ke arah erotika atau malah religi. Ke ah dilanjut bade ka Rumentang Siang heula.

  • Igun Prabu hahaha..grafhisnya Moronyoy

  • Diro Aritonang Grafis na mah te penting mang, kupas ku mang haikuna, ok

  • Ipit Saefidier Dimyati Boleh, kang Diro Aritonang. Menurutku haiku denok memancarkan kegairahan dalam menjalani hidup. Pilihan katanyanya sederhana, tetapi telah memberikan kenyamanan bagi pembacanya, paling tidak bagi diriku.

  • Sudiyanto Admipro Suasana Merintihnya asyik pisan ......Wah teman memanggil Janten ke ahk dilanjutnya .....pan sampai jam 00......ayeuna mayunan tamu heula ......

  • Igun Prabu 1. berbau pemberontakan dari ketidak puasan terhadap harkat kemanusiaan Haiku karya Denok Indriyaty Pramesty diatasmenguasai tiga relasi manusia, yakni subjek dengan kesadarannya sendiri, subjek dengan pembacanya dan subjek dengan alam liarnya.namun pe...Lihat Selengkapnya

  • Diro Aritonang Alus pisan eta ulasan, sip ah kang Igun Prabu

  • Diro Aritonang Mana yang lainnya?,,,,

  • Diro Aritonang Kang Henda Surwenda Atmadja, sibuk wae berhaiku, bicara kang pendapatnya..

    • Henda Surwenda Atmadja Om Diro yang telaten, menurut saya, lebih baik kita bangkitkan, kita gali, eksplorasi saja dulu seluruh potensi haikuis yang sdg demam ini. bila sejak dini mendaulatkan ke seseorang, aku khawatir kreatifitas yang lainnya jadi mandeg/stagnan karena blm apa apa sdh dimunculkan standar figur kualitas. padahal kita sadari, haiku ini barang baru bagi penikmat sastra di sekitar kita. Berikan dulu ruang ruang berekspresi bagi yang lain(sngt banyak haikuis ini) dengan panduan teori/pakem yg sdh disampaikan. Bila perlu, masing2 haikuis ini sampai muntah memuncratkan karya karya briliannya. Ketokohan akan lahir sejatinya apabila ruang2 terbuka diberikan kebebasan yang tetap berkaidah. niscaya tokoh, sosok keteladanan, dengan syair syair haiku nya yang menawan dan penuh pesona akan lahir secara alamiah dan teruji keindahan dan kedalaman sastranya. Kitu we lah heula kumandang ti simkuring mah. Nuhun Om Diro

    • Ki Hasan Halah aingah, eta uing di-abah-keun pisan, Bang Diro Aritonang. Bagi saya ini haiku mengingatkan saya akan serunya pertempuran 'kurusetra' di malam pertama bulan Rayagung setelah sawala akbar di Bale Nyungcung.

    • Alma Elise W Saya tidak melihat hal lain selain kisah singkat persenggamaan. Apalagi dipadu dengan gambar seorang perempuan yang mengesankan hasrat murahan. Dan yang semacam ini menurut saya menggelikan.

    • Alma Elise W Dan saya sama sekali tidak mencium--bagian mana--yang berbau pemberontakan dari ketidak puasan terhadap harkat kemanusiaan, seperti yang igun prabu sebutkan..


      • Henda Surwenda Atmadja Om Diro yang telaten, menurut saya, lebih baik kita bangkitkan, kita gali, eksplorasi saja dulu seluruh potensi haikuis yang sdg demam ini. bila sejak dini mendaulatkan ke seseorang, aku khawatir kreatifitas yang lainnya jadi mandeg/stagnan karena blm apa apa sdh dimunculkan standar figur kualitas. padahal kita sadari, haiku ini barang baru bagi penikmat sastra di sekitar kita. Berikan dulu ruang ruang berekspresi bagi yang lain(sngt banyak haikuis ini) dengan panduan teori/pakem yg sdh disampaikan. Bila perlu, masing2 haikuis ini sampai muntah memuncratkan karya karya briliannya. Ketokohan akan lahir sejatinya apabila ruang2 terbuka diberikan kebebasan yang tetap berkaidah. niscaya tokoh, sosok keteladanan, dengan syair syair haiku nya yang menawan dan penuh pesona akan lahir secara alamiah dan teruji keindahan dan kedalaman sastranya. Kitu we lah heula kumandang ti simkuring mah. Nuhun Om Diro

      • Ki Hasan Halah aingah, eta uing di-abah-keun pisan, Bang Diro Aritonang. Bagi saya ini haiku mengingatkan saya akan serunya pertempuran 'kurusetra' di malam pertama bulan Rayagung setelah sawala akbar di Bale Nyungcung.

      • Alma Elise W Saya tidak melihat hal lain selain kisah singkat persenggamaan. Apalagi dipadu dengan gambar seorang perempuan yang mengesankan hasrat murahan. Dan yang semacam ini menurut saya menggelikan.

      • Alma Elise W Dan saya sama sekali tidak mencium--bagian mana--yang berbau pemberontakan dari ketidak puasan terhadap harkat kemanusiaan, seperti yang igun prabu sebutkan..

      • Hikmat Gumelar Seks adalah anugerah. KaruniaNya. Pengungkapan keindahan seks dengan teks bisa sampai sebentuk syukur. Tapi sampai kini Indonesia masih sebuah negara yang normatif. Keimanan masih kerap diimani identik dengan penghakiman. Semakin suka memalu kepala liyan atas naman iman, semakin berimanlah kita. Dalam konteks demikian, ekspresi mengenai seksualitas menjadi korban. memang banyak karya yang diniatkan sekadar pembakar syahwat murahan. Tapi tak sedikit pula karya yang mengalirkan gelombang keindahan seksualitas. Karya DIP, setidaknya bagi saya, termasuk pada jenis kedua. Ini antara lain dimungkinkan oleh "Meronta dua sukma". Baris tersebut menandai bahwa yang terjadi bukan melulu tubuh yang kelejotan terbakar nafsu jalang. Menjadi kian mengacu ke situ ketika yang dijemput disebut "syurgaku". Kata "surga", kita tahu, datang dari ranah agama. memang kata itu suka pula dipakai untuk menamai apa-apa yang justru bertentangan dengan agama. Namun, dalam karya DIP itu, "surga" bertaut dan saling menguatkan dengan "sukma". Jadi, seksualitas yang diucapkan DIP, hemat saya, jenis seksualitas yang mungkin merupakan KaruniaNya. Hanya saja, punten, imaji seks yang luhur itu jadi terganggu oleh gambarnya. Selain itu gambar lebih menonjol, yang ditonjolkannya pun figur dan warna membetot pada aosiasi ranjang terlarang. Ada memang diksi yang mungkin masih perlu kita diskusikan logikanya atau musikalitasnya. Tapi ini tak terlalu mengusik. Gambar itu, yang untuk saya, ko terasa menganggu. Punten. Nuhun.

      • Iwan Soekri Sebagai haiku, dua haiku yang menjadi satu, cukup menarik.
        Kemagisan haiku adalah lompatan gagasan!

      • Diro Aritonang Kang Henda Surwenda Atmadja, kita bukan mau memunculkan ketokohan, ini bagian program dalam mengasah pikiran. Apa yang kita buat punya nilai ga? Berkarya terus, tapi kita juga perlu amunisi pikiran, pemahaman dan apresiasi. Kita akan turunkan haikuis secara bergilir, dan akan dipilih hal-hal dari kecenderungan haikuis yang menarik. Dari seluruh pengisi haiku di grup ini telah menyimpan segudang nilai-nilai hidup yang bisa kita gali besensinya. Kang Handa juga akan mendapat giliran untuk diguar apa yang menjadi pemikiran, obsesi, harapan dan sebagainya. Kitu kang...

      • Henda Surwenda Atmadja kalau melihat waktu, baiknya awal 2015, medio januari. biar semua bisa terlibat dan serius. ach ini mah saran saja. klw pun menurut temen2 mau di wacanakan sejak dini pun, ya jalan saja, he he he.

      • Tike Agus Chayaang Ceuk urangg malaya. ''Seronok'' bikin lalaki molohok. Oh, Denok Montok, kamu bagiku kamu tak elok..



        • Alma Elise W iya, betul mas Hikmat Gumelar , haiku semacam ini memang jelas perlu didiskusikan lagi diksi dan logikanya jika harus diposisikan sebagai haiku yang mengalirkan gelombang keindahan seksualitas yang luhur atas karuniaNya. hehe..

          oh, iya, mas
          Diro Aritonang, saya masih kurang paham, sebetulnya, “sebuah haiku” itu hanya terdiri dari tujuh belas suku kata yang disusun tiga baris dengan patron 5-7-5 atau bagaimana? Karna kalau disuguhkan seperti yang di atas itu, atau jika dipisahkan lagi, akan terasa lain lagi kesan-maknanya..


        • Afrilia Utami coba menggali dalam perspektif lain. Kulepas, ingin/Berselimutkan madu/Manis kujilat//. dalam otoritas sebagai manusia yang dilahirkan bersama nafsu= menempel dengan 'keinginan.'apa yang diinginkan membuat manusia mengejar kuasa atas sikap dengan identitas secara menyeluruh, atau dengan kuasa atas pengerjaan keinginan dengan gerak a-identitas. apa itu a-identitas? melepas tentang identitas sebagai 'keterangan' mahkluk, yang ia kenakan dalam perjalanan, namun kepada penghayatan klimaks atas usia "keinginan". bukankah suatu hukum pengalaman, semakin banyak kita memanjakan keinginan, semakin kita didera penderitaan oleh karena daya juang mendapatkannya. maka, penyair di sini, seperti melepas bagian sisi manusia yang penuh oleh 'duka' di kamarnya. "berselimutkan madu", cairan kental dan manis ini menyelimuti kepahitan yang telah ia lepas ke dalam, dan madu menyelimuti yang keinganan telanjang, artian telanjang di sini adalah keinginan yang sebenarnya tidak menjamin kita mati saat tidak merealisasikannya. kosong. dan penulis menarik ke dalam suatu elemen tempat peristirahatan, menarik selimut, yang dekat dengan ranjang tempat tubuh tertidur dan merasakan keinginan baru yang harus diisolir antara pelepasan atau pertahanan. namun penulis mengambil pilihan untuk melepas keinginan kosong, kujilati madu katanya. keinginannya telah dilepas pergi, dan lidahnya mencecap bukan air mata kembali saat keinginan yang ia kejar dengan kendali dirinya, ia meredam, dan manis dicecap, bukan lagi asinnya air mata. sebagaimana keinginan bahar bakar dari penderitaan itu sendiri. Tuhan menciptakan bermacam tangga untuk kita naiki.


        • Igun Prabu betul sekali apa yang disampaikan oleh kawan Alma Elise W mengenai pendapatnya bahwa Haiku Denok Indriyaty Pramesty diatas menurutnya adalah kisah singkat persenggamaan yang menggelikan..(ancilla Theologia) dan saya sendiri menganggukan kepala tanda setuju..namun bukankah persetubuhan (pun) adalah bagian kecil (namun utuh secara komposisi) dari Harkat Kemanusian..?? dalam konteks Haiku diatas adalah Perempuan, bait pertama pada kata "Kulepas" banyak Literalisasi yang saya anut sebagai pemaknaan dari sebuah pemberontakan yang dikontruksi secara sistematis meski penyampaian si penulisnya yg saya lihat sih cenderung malu malu/ragu ragu (karena ini Haiku) sehingga ada kesan mengingkari dimensi fiksional pada abstraksinya yang spekulatif sehingga pemaknaan bisa menjadi kabur (sy tidak menyalahkan estetika grafhisnya) pada Bait selanjutnya saya menemukan kata "Pupil Menyempit" dan "Meronta" ini sudah sangat jelas berdiam pada ruang yang bernama Semiotika..dan ini sekalilagi ada keterikatan dengan sebuah "pemberontakan" karena persenggamaan yang singkat(pun) bagi perempuan adalah sebuah siksa bathin yang membekas,namun "kesakitan" bisa juga dimaknai sebagai akhir dari titik Puncak "Kenikmatan" pada harkat kemanusiaan tertentu..sahabat saya Alma Elise W dalam grup Haiku ini saya seperti diajak untuk belajar merelasikan lagi pikiran pikiran liar terhadap hubungan2 penjelmaan karya sastra (Haiku) yang berkaitan erat dengan metodologinya,namun celaka nya pikiran saya selalu ingin seliar liarnya tak terbatas pada level metodologi saja dan sy senantiasa bberusaha menjadikan karya Haiku bukan sebagai landasan metodologi pada saat Haikuis mencipta Haiku nanti kedepan. Maksudnya, menggunakan metodologi sastra sebagai ancilla theologia dalam membuat dan menafsirkan Haiku akan dangkal bila semata berhenti pada pembacaan estetik-teoritik dengan tanpa diikuti penelusuran fenomenologis dari karya Haiku itu sendiri.. Karena dengan penelusuran fenomenologis itu teologi Haiku menemukan
          bentuk ekspresinya yang kompleks dalam dunia batin manusia, seperti halnya pengaruh karya HAIKU di hati pembacanya.Semoga saya sedang Bermimpi indah...


        • Sopyan Tsauri aku setuju gambarnya dihilangkan saja atau diganti dg lukisan abstrak saja


        • Denok Indriyaty Pramesty Pilihan tepat bang Diro Aritonang
          Ketika saya menulis sajak haiku diatas,
          saya mencoba mentransformasikan fikiran saya atas suatu kejadian yang belum pernah saya alami. Betul kata mas Igun Prabu,” meski penyampaian si penulisnya yg saya lihat sih cende
          rung malu malu/ragu ragu (karena ini Haiku) sehingga ada kesan mengingkari dimensi fiksional pada abstraksinya yang spekulatif sehingga pemaknaan bisa menjadi kabur”.

          Dari beberapa Artiket yang saya baca,
          tentang hubungan sex, yang saya maksud hubungan suami-istri, ada kecenderungan rasa terpaksa dari pihak perempuan/istri. “kulepas ingin” bagi saya adalah sebuah pertanyaan, epekah itu kepasrahan atau keterpaksaan? pengabdian pada pasangan/suami dengan melepas segala keinginan akan medapat reward “menjemput syurga”.

          Saya mencoba keluar dari ketauan-ketabuan masalah Senggama/hubungan sex yang selama ini menyelimuti hati
          dan pikiran mnusaia Indonesia, yang dibungkus dengan istilah Adat ke-timur-an. Maka tidak salah apa yang ditulis Ibu Alma Elise W
          Saya tidak melihat hal lain selain kisah singkat persenggamaan. Apalagi dipadu dengan gambar seorang perempuan yang mengesankan hasrat murahan. Dan yang
          semacam ini menurut saya menggelikan.

          Dalam gaya bahasa, dikenal bahasa kiasan. Gaya bahasa kiasan dibentuk berdasarkan perbandingan atau persamaan. Membandingkan sesuatu dengan sesuatu hal yang lain, berarti mencoba menemukan ciri-ciri yang menunjukkan kesamaan
          antara kedua hal tersebut. Perbandingan sebenamya mengandung dua pengertian, yaitu perbandingan yang termasuk dalam gaya bahasa yang polos atau langsung, dan perbandirigan yang termasuk dalam gaya bahasa kiasan.

          Demikian juga dengan puisi haiku
          yang saya tulis diatas, tidak segamlang menceritakan kegiatan senggama/sex sesaat seperti layaknya ditempat –tempat prostitusi Saritem dan Dolly. Mangga di lanjut!


        • Noer Listanto Alfarizi Grafisnya aduh, nanceub.
          Haiku na madep..


        • Denok Indriyaty Pramesty Mas Noer Listanto Alfarizi, itu yang bikin Abang Diro Aritonang, bukan saya lho, haha sorry salah nyebut....


        • Noer Listanto Alfarizi Bkin melayang-layang Teh DIP hehe
          Sering-seringlah bkin haiku seperti biar kopi dan rokok bisa terganti hehe
          ...Lihat Selengkapnya


        • Ganjar Kurnia Keren habis yang nulis yang membahas.


        • Denok Indriyaty Pramesty Sudah tak beneri mas Noer Listanto Alfarizi. maaf! haha


        • Ersa Sasmita Menurut saya, Haiku karya Denok Indriyaty Pramesty ini, berhasil dalam mengungkapkan hubungan lawan jenis dengan bahasa asosiatif yang jauh dari kesan vulgar. Dibandingkan bahasa puisi Sutardji yang--maaf--menyebut langsung beberapa kata, antara lain kelamin, jembut,dll, bahasa Haiku Denok termasuk halus. Bahwa ada pembaca yang menangkap langsung apa yang ingin disampaikannya, tentu sah-sah saja; karena sebuah karya sastra bersifat ambigu, sehingga membebaskan pembaca untuk menafsirkan sesuai dengan tingkat apresiasinya masing-masing. Untuk ilustrasi foto pun, menurut saya, masih dalam katagori biasa, karena ditampilkan dalam bentuk close-up. Bahwa terkesan gambar model ini tak berbusana, sebaiknya melihatnya secara positif : sudah biasa kan kita di Indonesia melihat wanita berkemben dan terasa wajar-wajar bila kita melihatnya tidak menyimpan "Piktor". Salam.


        • Alma Elise W Oke, menarik. Diskusi ini jadi menarik ‘kan? Semoga Igun Prabu memang sedang bermimpi indah.hehe..

          Mas sopyan, memangnya siapa yang meminta persetujuan anda? Hehe... becanda. Tapi maksud saya begini, mungkin gambar itu memang kesan yang ditangkap oleh
          mas diro dari haiku (yang digabungkan) di atas. Mungkin gambar tersebut yang dia anggap paling mewakili sebagai reinterpretasi haiku (yang digabungkan) tersebut. Mungkin iya, mungkin juga tidak. Biar mas diro yang menjelaskan.hehe.. yang jelas paduan haiku dan gambar tersebut terkesan menggelikan bagi saya.

          Denok, tolong, jangan panggil saya ibu. Selain karna aku bukan ibumu, rasanya usia kita juga tak jauh beda.hehe.. oh, iya, semoga kamu juga tidak tersinggung apalagi salah paham, yang kumaksud menggelikan itu bukan soal persenggamaannya. Yang kumaksud menggelikan itu adalah jika haiku tersebut semata-mata hanya sebuah “potret” senggama. Walaupun itu sah-sah saja, seperti yang disampaikan mas Ersa barusan. Karna, baik diukur dengan ketimuran ataupun kebaratan, jika haiku tersebut semata-mata hanya sebuah potret persenggamaan, rasanya sama, menggelikan. Namun bersyukurlah saya jika memang bukan begitu adanya, seperti yang kamu sampaikan. Meskipun, sekali lagi, seperti yang di sampaikan mas ersa, jika begitu adanya pun itu sah-sah saja.hehe

          oke, salam untuk semua.


        • Denok Indriyaty Pramesty Suasana jelang malam semakin hidup, sebab memang kita hidup. Hehe..
          Toh kita perempuan sama-sama calon ibu, ketika kelak waktunya. Kalau saya memang balum ada yang manggil ibu.
          Ok Alma Elise W saya sebut nama saja.

          Sebuah ide pemikiran/gagasan bisa
          timbul kapan saja, saya kira di kalangan seniman itu sudah merupakan hal yang lumrah “merespon terhadap lingkungan sekitar” baik lingkungan antar mahluk atau dalam lingkup lingkungan fikir/gagasan.

          Memang menemui kendala ketika saya mencoba ungkap sesuatu hal yang belum pernah saya alami, dasarnya hanya berbekal imaji, dan asumsi-asumsi, mungkin saja asumsi saya tidak tepat atau salah. Tapi saya anggap juga itu sah-sah saja saya berimaji, sebab imaji saya tentang pesetubuhan masih dalam tarap wajar (antara perempuan dan laki-laki) bukanya sesama jenis, haha….
          Saya sendiripun kurang yakin puisi haiku yang saya tulis dapat dikatakan mewakili karya haiku yang sebenarnya.

          Oh ya…..Salah paham, dan perbedaan pendapat bukan masalah, dan saya tidak memaknainya sebagai sebuah ketersinggungan. Mungkin sebab ada perbedaan penafsiran terhadap “pemilhan kata” dalam menyampaikan suatu melalui puisi haiku. Tak jadi soal, toh dalam membaca karya haiku, setiap kita masing masing punya interpretasi yang berbeda, dalam seni itu sah-sah saja.

          Salam....


        • Tike Agus Chayaang Maaf aku menafsirkan gambar. merah.kelewat tajam


        • Denok Indriyaty Pramesty Mba Tike Agus Chayaang, kerjaanya bang Diro Aritonang haha... Nah sudah banyak keberatan dengan gambarnya tuh bang..


        • Tike Agus Chayaang Ya Neng Denok, bahkan Eteh ga baca Bahwa itu karya Denok, menyebut namamu meluncur begitu saja. Kekuatan ilustrasi lebih menipu daripada kata terlebih dulu.. Maaf ya kalau kataku tak nyaman di hatimu . Gambar grafisnya Bang Diro berangkali harus direvisi biar tak salah persepsi.. Terjebak hahaha..


        • Denok Indriyaty Pramesty teu sawios teh Tike Agus Chayaang, Saya justru berterima kasih karyanya ada yg mengkritisi, itu sebuah pelajaran yang sangat berharga untuk melihat ke dalam diri saya sendiri, bahwa tersadar segalahal masih banyak kurang, hingga perlu keterlibatan orang lain untuk melengkapinya. Salam kawilujengan kanggo teteh sareng kulawargi. Maaf masih balelol Basa Sundana. hehe


        • Tike Agus Chayaang Sami sami Neng Denok. Salam kawilujengan kanggo Kulawargi. Mugia #Haiku janten beungkeut talisilaturrahim kangge urang sadayana. Utamina Eteh nu atah keneh diajarna.. Hatur nuhun nya

        • Diro Aritonang Alhamdulilah, diskusi ini hampir rampung. Saya yakin kita semua telah mendapatkan sesuatu dari haiku Denok Indriyaty Pramesty (DIP), hari ini haiku DIP telah menarik banyak perhatian, dari berbagai persepsi. Itulah haiku, jika ada yang tidak suka maupun yang suka pada grafis yang megusung haiku Denok. Itu syah-syah saja. Sengaja memang grafis itu dibuat berdasarkan karakter haiku tersebut, lebih fasion, atau istilah kang Igun Prabu, moronyoy. Memang dibuat seperti itu, agar daya tarik haiku iyu menjadi-jadi, atau bisa mencuri perhatian kita semua. Memang harus moronyoy. Kalau tidak moronyoy, belum tentu teman-teman tertarik. Tinggal sejauh mana anda semua memiliki kepekaan seni dan cita-rasa. Silahkan jika masih ada yang penasaran. Masih ada waktu samapai jam OO.00. wib. Nuhun....

        • Diro Aritonang Hasil diskusi ini akan didokumentasikan oleh Blok haikuKu. Mulai diskusi haiku Hikmat Gumelar, kang Ganjar Kurnia, Kang Beni Setia, dan DIP. Besok akan kita turunkan pula haikuis lain, tunggu besok. Kritisi dengan baik. Salam haikuKu.

        • Igun Prabu kalo bagi saya pribadi sudah cukup kang Diro Aritonang tinggal akang tarik kesimpulan dan ambil silabusnya dari pertemuan Haiku Denok Indriyaty Pramesty ini,pada hari ini saya memetik buah pelajaran bahwa Haiku ternyata bisa menjadi Sumber-sumber energi dan inspirasi dari geo-budaya yang(pasti) muncul di masa kemudian nanti...Haiku hadir sebagai formula penyegar bahasa dengan filosofi dan cita rasa sensualitas tinggi Semoronyoy..moronyoynya..Salam

        • Denok Indriyaty Pramesty Hatur nuhun kasadayana.
          Diskusi yang sangat menarik dan banyak hasil yang saya ambil. Terutama semua komen saya Copas di My Documents.


          Oke, Thank's.

           

          • Diro Aritonang Ok, sebenarnya apa yang kita hasilkan sekarang ini, dapat kita simpulkan dalam diri kita masing-masing. Wacana yang berkembang dari diskusi tentang haiku DIP, sebenarnya adalah persoalan-persoalan yang kita hadapi dalam realitas bangsa ini. Hanya, seperti apa yang sering disinggung oleh Igun Prabu, kita masih terperangkap pada sikap hipokritisme, padangan-pandangan yang naif dalam menafsirkan atau menterjemahkan nilai-nilai yang terkandung dalam adat-istiadat, tradisi yang sebenarnya memiliki nilai yang tinggi (lokal genius). Diskusi ini justru, tidak pernah terjadi pada haiku Jepang. Jika pun ada pada bentuk yang lain seperti Senryu. Ternyata, haikuKu tidak sama dengan haiku Jepang, haikuKu yang muncul dari sekian ratus anggota sudah hampir menemukan warna khas. Ini yang dapat membedakannya. Untuk mengahiri diskusi ini, saya hanya mengingatkan, bahwa kerendahan hati itu justru akan menuntun pada kekuatan, bukan kelemahan. Mengakui kesalahan dan melakukan perubahan atas kesalahan adalah bentuk tertinggi dari penghormatan pada diri sendiri. Salam haikuKu.

          • Diro Aritonang Demi waktu, diskusi ini kita tutup.

          • Igun Prabu naon ieu ujug ujug meni reuwas...kaleresan tos Tutup kang Trisna To mang Diro Aritonang na bade uih...tos teu kiat bade moronyoy heula..heu

           

           

         



No comments:

Post a Comment

Grafis Yanto

Grafis Yanto
Haiku Grafis Sudiyanto Admipro

Kumpulan Haiku Aghan S Parmin

Aghan S Parmin
malam datanglah
hati sunyi meraja
pintu bukalah

sampit, 12 2014

bintang berkedip
malam bak rahim bunda
mengadam-hawa

sampit, 12 2014

subuh mengembun
pagi tabur cahaya
burung terbanglah

sampit, 12 2014

malam meluruh
gelap menyimpan intan
bumi terengkuh

Sampit, 12 2014

gelembung busa
angin riuh berlalu
tangan kosonglah

sampit, 12 2014

layang melayang
dalam kendali tangan
aku layang kau

sampit, 12 2014

disinar bulan
daun sepuhan perak
hanyutku haiku

sampit, 12 2014

bulan cemerlang
bumi indah cahaya
aku dalam Hai

sampit, 12 2014

sehabis hujan
pohon-pohon menghening
batu tak gigil

sampit, 12 2014

Ed Jenura

Ed Jenura
Haiku Grafis Ed Jenura

Yuharno Uyuh


HAIKU 1

Menerjang peluh
Meregang tangis zaman
Kelu menahun


HAIKU 2

Tangis sang renta
Langit pekat bergetar
Anak pendosa

HAIKU 3

langit memerah

di pusara istana

gagak menjerit


HAIKU 4

merenda mimpi
raih setumpuk toga
mati berdasi


HAIKU 5

tangis sang ibu
di keheningan malam
langit bergetar


HAIKU 6

di sudut panggung
kecapiku membisu
gitar berjingkrak



Catatan Lutfi Mardiansyah

HAIKU DAN KETIADAAN PUSAT

Terlepas dari aturan atau pakem-pakem haiku, baik itu haiku klasik maupun haiku modern, dalam tulisan singkat ini saya ingin membicarakan satu hal mengenai haiku, yaitu “ketiadaan pusat”. Yang saya maksudkan adalah, dalam konteks ini, kata “pusat” bersinonim dengan “gagasan utama”. Dengan demikian saya ingin membahas ketiadaan gagasan yang, di dalam haiku, terkesan tidak terlalu penting, bahkan seringkali—secara ekstrim—ditolak. Logikanya, ketika gagasan pada sesuatu ditolak, maka ia menjadi sesuatu yang “tanpa gagasan”.

Sebagaimana jenis-jenis puisi seperti diwan, kasidah, ghazal, seringkali digunakan sebagai wadah ekspresi dari ajaran-ajaran sufisme, haiku seringkali dikaitkan dengan ajaran zen. Banyak penyair yang juga penganut ajaran zen menulis koan-koan mereka dalam bentuk haiku—walupun tidak semua. Karena zen dikenal sebagai filsafat kekosongan atau ketiadaan, atau ekstrimnya anti-filsafat, dalam hal ini haiku menjadi semacam perpanjangan dari ajaran tersebut.

Lalu apa yang ditawarkan haiku jika ia tidak menawarkan sebuah gagasan? Jika kita melihat bahwa dari segi isi puisi terbagi ke dalam dua jenis, yakni puisi-gagasan dan puisi-suasana, bisa jadi “suasana”-lah yang dalam hal ini hendak ditawarkan oleh haiku. Haiku menyediakan wadah bagi sesuatu yang “bukan dipikirkan” melainkan “dinikmati”. Haiku menyediakan wadah bagi fragmen-fragmen yang cenderung bersifat impresif daripada kontemplatif. Potongan suasana yang tiba-tiba, yang terlepas dari sebuah mula dan tidak terselesaikan.

Analogi sederhananya sebagai berikut: “seseorang membuka pintu”. Seperti itulah haiku. Haiku tak mengurusi dari mana orang itu sebelum dia membuka pintu dan akan ke mana dia setelah membuka pintu. Haiku hanya menangkap impresi-impresi semisal bunyi derit pintu ketika dibuka.

Dalam fokus pembahasan tersebut saya ingin mengetengahkan haiku karangan Isbedy Stiawan Z S untuk melihat bagaimana ketiadaan gagasan di dalam haiku. Berikut ini haiku-haiku tersebut:

dan hujan tandang
menyeret lampu padam
malam pun hitam

Pada haiku tersebut, Isbedy melukiskan sebuah potongan suasana yang tersusun dari “hujan”, “lampu”, dan “malam”. Di haiku ini Isbedy hanya menggambarkan bagaimana hujan datang (dan hujan tandang), kemudian hujan tersebut “seolah” membuat lampu-lampu padam (menyeret lampu padam) dan ketiadaan penerangan ini mengakibatkan malam menjadi gelap (malam pun hitam). Sudah. Tapi, apakah selesai sampai di situ? Apakah haiku ini hanya menawarkan potongan kejadian, sebuah puzzle berupa “hujan” yang ber-“tandang”, dan—mungkin—saking lebatnya hujan tersebut hingga ia seperti tirai tebal yang menghalangi pandangan kita dari nyala lampu, seolah-olah “lampu” itu “padam” dan hujan itulah yang membuatnya padam, serta pada gilirannya hal tersebut membuat “malam” menjadi gelap, seluruhnya berwarna “hitam”?

Apakah selesai sampai di sana dan hanya seperti itu saja?

Sebab jika kita melakukan pembacaan hermeneutik terhadap teks haiku tersebut maka hasilnya akan lain. Dengan berpegang pada kemiripan konsep, kita bisa membaca “hujan” sebagai suatu “kesedihan”, lalu “lampu (yang) padam” itu sebagai “hilangnya kegembiraan”, kemudian “malam” yang disandingkan dengan “hitam” itu sebagai “kehidupan” yang disandingkan dengan “derita”. Dengan demikian, jika teks haiku tersebut kita baca secara hermeneutik, bisa jadi salah satu tafsiran yang muncul adalah, bahwa haiku tersebut menggambarkan tentang kesedihan yang datang selalu membuat kegembiraan terhapus dan kita merasa hidup kita penuh derita. Justru di sini muncul sebuah gagasan, setidak-tidaknya gagasan mengenai kesedihan sebagai sesuatu yang melenyapkan kegembiraan, bahwa dua hal tersebut—kesedihan dan kegembiraan—ada dalam kerangka oposisi biner di mana, walaupun saling melengkapi, keberadaan yang satu selalu melenyapkan yang lainnya.

Sebagai penutup tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang timbul atas masalah tersebut di atas untuk selanjutnya—mungkin—bisa dijadikan bahan diskusi atau kajian yang lebih menyeluruh: Apakah ketiadaan pusat di dalam haiku itu suatu realitas yang segera terhapus begitu ia berhadapan dengan teori dan metode pengkajian sastra? Ataukah ini adalah sesuatu yang melampaui hal-hal ilmiah dan akademis tersebut? Sesuatu yang sifatnya esoterik?***

Denny Cholid Rachmat Awan

Semoga bermafaat bagi saya pribadi dan saudara2ku, sabahat2ku, sebagai pengetahuan yang perlu juga dikoreksi oleh saudara2ku di grup Haiku oleh :
Kang Kang Soni Farid Maulana, Kang Diro Aritonang, Kang Yesmil Anwar, Kang Yusef Muldiyana, Kang Igun Prabu, Kang Hikmat Gumelar, Bang Arsyad Indradi, Kang Beni Setia, dan kawan-kawan yang tidak saya sebut semua disini, bilamana ada kekurangan2 mohon dimaafkan tulisan saya ini hanya sebagai refresh saja, dan saya bersyukur semoga dengan kehadiran Kang Lutfi Mardiansyah disini sangat penting buat kita di Haiku bukan sekedar busa dan gincu. Sedikit pengetahuan bagi saya tentang "HAKIKAT KRITIK" semoga kawan-kawan bisa menambahkan dan koreksi : Kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Krinein” yang artinya memisahkan, merinci. Dari bidikan yang dihadapi dengan kenyataannya orang membuat suatu pemisahan, perincian antara nilai dan yang bukan nilai, yang baik dan yang jelek, namun bukan hanya arti susila saja, perlu landasan-landasan untuk menyoroti dalam arti yang sangat luas terhadap menentukan suatu ukuran nilai, yaitu nilai dalam penafsiran, nilai dengan ilmu, kaidah-kaidah atau norma yang menjadi pedoman secara sistematis. Persoalan kritik mempunyai kedudukan yang sangat penting pada kehidupan sosial manusia, karena kritik adalah sebagaimana orang memberikan penilaian atas nilai. Dalam tata kehidupan demokrasi masyarakat, kritik sangat dibutuhkan untuk menilai tentang kebijaksanaan para pemimpin dan para penguasa secara kritis. Seperti terjadi dalam suatu pemilihan umum, yaitu sebagai contoh pemilihan kepemimpinan melalui partai-partainya. Kritik menyoroti wilayah-wilayah tertentu dari suatu praktek kemanusiaan dalam sosialisasinya. Tanpa kritik belum tentu suatu cita-cita sesuai hasil dengan pencapaian harapannya.
Kritik dilontarkan dengan positif ataupun negatif bagai cambuk seakan-akan menjadi penghambat atau ancaman yang dianggap pengrusakan citra pada para pembuatnya, pada sistem struktural sebuah organisasi atau perseorangan dari sebuah nilai kesucian dan kemurnian hasil karya. Bisa juga kritik menjadi doping atau stimulus untuk mencapai harapan masa depan lebih baik dari yang sudah-sudah. Seorang kritikus sudah tentu harus mengerti hakekat kritik, sifat-sifat kritik dan persyaratan bagaimana melakukan kritik. Kendati demikian bukan tugas yang mudah ketika kritik itu harus diutarakan dan bahwa kritik yang benar adalah suatu nilai dasar untuk kemajuan eksistensi perbuatan kemanusiaan. Menjadi seorang kritikus berkualitas mempunyai disiplin ilmu untuk mempelajari dan memahami bagaimana menyoroti dan melontarkan kritik-kritiknya supaya tepat sasaran terhadap yang dinilainya atas perbuatan-perbuatan yang bisa ditangkap dan tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, seperti yang dilakukan seorang filsuf, agamawan dan masyarakat religius secara spirituil berfikir tentang ketuhanan. Bagaimana kita mengkritisi terhadap seorang hakim menvonis perbuatan seorang terdakwa, pemimpin negara mengatur rakyatnya, seorang seniman bagaimana ia menghasikan karya seni yang diciptakannya. Demikian macam-macam kritik diarahkan bukan serta merta seorang kritikus menjadi dewa terkesan lontaran caci-maki, opini, bisikan-bisikan, gunjingan sebagai kutukan yang gerah, akan tetapi menjadikan spirit dan titik terang mendorong lebih maju untuk melahirkan formula-formula baru dan inovasi pada kemajuan bangsa dan negara, serta satu contoh pada karya seni lebih bermutu sekaligus eksistensi para senimannya. Salam Haiku.

TULISAN HIKMAT GUMELAR

DI KUBUR ATAU DI RANJANG?
Ilmu pengetahuan bekerja dengan klasifikasi. Kerja ini
memungkinkan abstraksi. Abstraksi memungkinkan teori dan metodologi. Teori dan metodologi memberi jaminan pasti. Tapi klasifikasi kerap hanya mengambil salah satu identita
s realitas dan menjadikannya arca yang diklai sebagai satu-satunya identitas. Identitas-identitas realitas yang lain kerap sengaja ditindas demi kemudahan dan kerapihan melakukan klasifikasi dan abstraksi, menyusun teori dan metodologi.
Maka, ilmu pengetahuan potensial menyesatkan, potensial menghancurkan. Sajarah bahkan sudah banyak membuktikan kebiadabannya. Misalnya, antropologi pernah lama menganggap bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bangsa primitf, tidak beradab, karenanya mesti diadabkan. Ilmu sejarah sendiri
selama berabad-abad menganggap bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa silam berdasarkan arsip. Di luar arsip, bukan sumber sejarah. Dan sejarah yang disusun berdasarkan sumber-sumber lisan dianggap bukan sejarah, dianggap sebagai
tahyul. Anggapan ini memungkinkan lahirnya kolonialisme dan neokolonilisme yang hingga hari ini masih terus beroperasi.
Potensi buruk ilmu pengetahuan akan semakin besar jika
melihat kondisi hari ini. Ini hari arus perubahan sebegitu deras. Informasi melebihi gelombang tsunami. Gelombang tsunami menerjang dalam rentang waktu tertentu yang tak berlebih mungkin jika disebut cukup lama. Dan datangnya dari satu arah. Sementara gelombang informasi ini hari meluap dan menyergap di setiap
tarikan napas dan dari berbagai arah. Ini kondisi yang memungkinkan semakin banyak orang seperti ditulis Chairil Anwar dalam “Catatan Th. 1946:
Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Karena itu, yang disebut data-data sekalipun, yang disebut
fakta-fakta sekalipun, selalu hanya sejumput. Hal ini karena pengumpulannya dilakukan seperti oleh “anjing diburu”. Begitu pula perenungannya, yang karuan bukan di tepian tasik yang tenang, melainkan di tengah arus deras perubahan dan luapan dan sergapan gelombang informasi dari berbagai arah yang tak sudah-sudah. Belum lagi jika mengingat bahwa yang dinamakan “data” dan “fakta” adalah buah kesepakatan segolongan orang. Segolongan orang ini tentu saja bukan malaikat. Mereka tida nirkepentingan. Dan mereka pun selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu yang karuan pula memengaruhi caranya memandang. Dengan demikian, jikapun ditemukan kebenaran, makna, dan arti, itu senantiasa parsial, senantiasa sementara. Konsekuensinya memang bukan sama sekali menafikan ilmu pengetahun, bukan anti-ilmu pengetahuan. Tapi jauhkanlah sikap menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai berhala. Bukalah selalu mata bahkan ketika tidur. Teliti dengan cermat, jernih, dan rendah hati setiap pijakan, langkah, dan temuan. Dunia ini sedemikian luas dan otak siapa pun hanya sekepalan bayi. Perkara bertambah lagi jika yang ditulis Chairil itu benar bahwa “kita hanya melihat dari sebagian sandiwara sekang. Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”. Ini karena kita di abad ke-21 ini seperti “Anjing diburu”.
Saya merasa perlu menulis begitu setelah membaca teks yang
diniatkan oleh Lutfi Mardiansyah sebagai kritik sastra. Sebetulnya saya enggan masuk dalam perdebatan yang dimulai oleh ayunan palu hakim dan lalu disusul oleh banyak semburan derau. Saya telah mencoba sebentar meredakan meski semata karena saya merasa Lutfi menyapa saya. Percobaan itu saya lakukan dengan
menyelipkan kutipan utuh “Gunung-Gunung”, puisi Emily Dickinson, dalam dalam komentar saya untuk Teh Meycha. Puisi bagus yang diterjemahkan dengan bagus oleh Gunawan Mohamad itu, hemat saya, relevan untuk hadir di tengah ayunan palu dan semburan-semburan derau. Tapi “Gunung-Gunung” itu rupanya tak didaki.
Padahal, seingat saya, saya pun sudah menulis sedikit kisah mengenai kenapa sampai Emily baru dikenal sebagai penyair brilian di Amerika Serikat, bahkan kemudian dunia, setelah dia mangkat.
Sebenarnya komentar Kang Beni Setia sudah menunjukkan kekurangan mendasar dari teks Lutfi itu. Dengan cukup gamblang Kang Beni mengatakan bahwa teks Lutfi itu dibangun di atas pandangan yang menyamaratakan, gebyah uyah. Semua haiku diandaikan “tidak ada pusat”, yang berarti “tidak ada gagasan”.
Jika saja itu dibaca dengan mata terbuka, cukup sudah. Goyah itu yang mengklaim sebagi teks ilmiah. Namun, seperti “Gunung-Gunung”, itu pun seperti dilewat begitu saja. Maka, mencuatlah tanya, kenapa bisa demikian? Apa yang memungkinkannya?
Saya merasa bebal. Saya gagal menemukan jawab. Saya hanya
semata bisa menduga, jangan-jangan muasal perkaranya dari penjadian pemilahan yang populer di tahun 70-an, yakni soal puisi suasana dan puisi gagasan, sebagai pijakan. Dan pemakaian pemilahan ini sebagai pijakan dibeking oleh pandangan mengenai puisi yang terdiri dari isi dan wadah seperti air dan ember. Menurut Lutfi, isi puisi itu ada dua, yakni gagasan dan suasana. Berdasarkannya, disebutkannya lah bahwa semua haiku adalah berisi suasana. Lalu diperkuat dengan menyebut kebertautan haiku dengan Zen yang punya tradisi koan. Saya merasa tak perlu lompat jauh-jauh ke sejarah perkembangan haiku, terlebih dengan mengaitkannya dengan Zen dan koan. Cukup rasanya dengan kita menyoal perkara puisi yang seperti air dan ember serta isi puisi yang terdiri dari suasana dan gagasan. Apakah iya puisi bisa dijadikan
terpisah antara wadah dan isi? Dan, sebenarnya pertanyaan ini tak perlu diajukan karena andaian yang mendasarinya sudah ilusif, apakah iya isi puisi hanya suasana dan gagasan? Apa yang dimaksud gagasan? Apa yang dimaksud suasana? Apa dalam suasana mustahil ada gagasan? Apa dalam gagasan mustahil
mengahdirkan suasana? Apa pula tak ada lain di luar gagasan dan suasana?
Kecuali itu, Lutfhi pun mengklaim memakai hermenetik untuk
menjalankan penafsiran lapis kedua terhadap karya Mas Isbedy. Sementara dia mengatakan bahwa haiku adalah karya tanpa pusat. Jika mau konsisten, menggunakan hermenit untuk mebaca karya yang konon tanpa pusat itu slangkah baik untuk hati-hati. Pasalnya, sila ingat sejarah hermenetik, juga tokoh-tokohnya. Dari situ terang bahwa hermenetik itu mengandaikan adanya kebenaran utama. Itu yang harus diburu. Saya dengar, pendekatan ilmiah itu wajib menjelaskan istilah-isitilah kunci. Penjelasan itu wajib meniadakan acuan ganda, wajib meniadakan mabiguitas. Kewajiban ini rasanya belum dipenuhi Lutfi. Masih banyak yang sebetulnya perlu dipersoalkan. Namun itu saja rasa-rasanya sudah lebih
dari cukup, apalagi dua baris “Catatan Th. 1946” itu sudah sangat terang mengingatkan kita. Atau biar tak terlewat pula kita petik saja lagi, ya:
Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

SDFK

KIRIMAN DARI SDFK

Mien Ardiwinata Kusdiman

SDFK # Bayang Bayang Sepanjang Badan #

malam kembali hening
seperti malam kemarin
dan kemarinnya lagi
hujanpun terus menderas
dari malam kemarin
dan kemarinnya lagi
menggigil aku kedinginan
walau sudah berselimut tebal
mestinya kamu ada disini..
tapi aku sangat tahu
kau sudah ada disana
dan aku harus tetap disini
semuanya harus seperti ini
kita berpisah sayang..

hingga larut tak jua aku terlelap
aku tidur dikamar kita
dengan sprei putih berenda
dan aroma bunga sedap malam yang kamu suka
dinding kamar cantik kita
bertaburan kenangan silam
ada kamu dan aku dalam pigura waktu
semua bercerita tentang kita
cerita silam sangat indah
ketika bersamamu..
aku sangat bahagia
walau ada air mata
tak semua tangis artinya sakit
tak semua air mata adalah duka
terimakasih buatmu kekasih
yang telah mengisi indahnya hari hariku
sekian lama.. dengan janji dan cinta tulus
dalam meniti dari waktu ke waktu
hingga pelukan terakhir kita

( revisi puisi celoteh hati - resminiardiwinata - januari 2013 )