Kumpulan Haiku Henda Surwenda Atmadja
membias keresahan
memucat pasi
dipenuhi angin syurga
nutupi hati
susuri kenangannya
cinta yang hilang
memungut rindu lama
sekarang senyum
umur kian berkurang
ingat yang lalu
melupakan kecewa
namun sadarlah
gemuruh kasih terbit
met hari ibu
luka mu pasti hilang
seiring waktu
menyesal juga jangan
biar berlalu
basahi tubuh lama
meraba diri
matahari dan bulan
jadi gerhana
matahari dan bulan
sedang bercinta
matahari dan bulan
bercinta alam
matahari merebah
tiduri bulan
seiring datang siang
menjemput sore
ucap kata bak bunga
nasehat ibu
dikala rasa gundah
doanya ibu
liuk tubuh yang indah
punya suami
melambai lempar senyum
getir tersimpan
memberikan bayangan
gelap nun jauh
antarkan hawa nafsu
angin didapat
mengikuti kehendak
nyata adanya
jalan dikehidupan
tak sampai jua
mengingat jejak lalu
catatan kelam
merpati ikut awan
tinggalkan sedih
tampilan badan bandit
beban negara
melati dekap sepi
janji tak tepat
hati terkena hujam
kasih berpaling
hati bosan bersajak
tak mau nulis
banyak bersabar koar
menolak barbar
syairnya tidak didengar
tokohnya tuli
penyair tua marah
kalian bohong !
simpan dibara dendam
pengadilanmu
mereka yang serakah
dipemerintah
harus diusir dalam
otak dan hati
sejuta dusta lintas
dalam benakku
coba lepas ingatan
dia penipu
apabila pribumi
dijajah lagi
semangat perjuangan
tuk anak cucu
catatan patriotik
sosok pejuang
tidak akan menjadi
seekor nuri
tidak akan seperti
burung garuda
pikir uang dan harta
sebuas macan
digempur kasih palsu
jadi bayaran
berkejaran setoran
penuh berdagang
biasa ngalir benar
sekarang nanar
yang kerja dan yang bunyi
boneka juga
bahkan tertidur panjang
lantangnya hilang
pada posisi kamu
supaya jelas
digedung buku ilmu
pingsan melulu
yang slalu terpenjara
dalam dustanya
mengejar tarif harga
materialis
tidak bisa diingat
rakyatnya mabuk
pikiran terbang tinggi
tidak membumi
tidak mampu merubah
keadaanmu
asyik ngalir merapat
tipuan dahsyat
pergi kesana sini
ikuti angin
adu merdu dirakyat
tipuan lalu
adu kata bicara
kalimat nipu
tembok berbintang langit
politik kini
dikota baru kusut
berhambur peluh
dosen dan mahasiswa
berdusta ria
mahasiswa diskusi
rakyat kelaparan
memenuhi pikiran
pemuda nongkrong
mahasiswa dicafe
negara bangkrut
anak bangga di cafe
terbawa angin
anak bangga di cafe
nilainya kabur
cafe dan kaum muda
sejarah mati
cafe dan kaum muda
saling bodohi
cafe dan kaum muda
saling memberi
cafe dan kaum muda
kadang semarak
cafe tak pernah kosong
membuang waktu
mahasiswa tertidur
dosen berbisnis
asli tak hebat kuat
semua impor
siapa yang memimpin
sendiri tak bicara
biarkan kerja
kebijakan pro rakyat
berikan jalan
wanita itu dilaut
sesali diri
kau tak peduli lagi
biar sepiku
basahi tubuh lesu
kejamnya kerja
diatasnya camar terbang
tersapu angin
perahu tanpa dayung
diayun ombak
perahu tanpa biduk
diayun ombak
berlayar ombak harap
menepi karang
ingin raih yang baik
nasib tak tentu
kejar hidup tiada
kunjung sempurna
bertebar di istana
hanya hiasan
redup disudut sepi
terganti cafe
berbaur berkreasi
berkompetisi
pasif berdiam diri
perlahan mati
gagas berdaya bangsa
rugi negara
tanah air digali
mereka beli
semua babat habis
kita yang bodoh
dongeng mereka juga
kita hampasnya
mahasiswa di cafe
mikirnya cafe
sastranya tak dipake
sejarah bangke
bergedung juta buku
obrolan cafe
besok turun kejalan
berdemontrasi
dihuni putra putri
mami dan papi
dicafe cafe kota
berkawan wifi
tak ada lagi bunyi
beberkan jerit
tampilkan laptop baru
pameran gaya
besok kita kejalan
berdemontrasi
ketika kata putus
terlontar lirih
ku sedang kelelahan
tolong hampiri
bibir, lidah, dan kata
mencari makna
anak mama dan papa
berpesta pora
dicafe cafe kota
bercanda ria
mahasiswanya lupa
dunia nyata
bila jadi pemimpin
bermulut palsu
pada elit kuasa
esok merdeka
mabuk tertidur lelap
ilmunya terbang
dulu banyak disinggung
karena asing
sekarang banyak minat
yang jadi mesin
ditubuh para dosen
kampusnya roboh
kembali jadi anak
mama yang manja
berpantun, ada uang
korupsi ria
republik bisa jadi
dijual pula
sekolah libur terus
muridnya gila
izin bangun semarak
tanahku retak
melawan dan berontak
dijajah lagi
mahasiswa tiarap
rakyat merana
sangat tekuni ilmu
muridnya bisu
menjerit sampai langit
"kertasku hilang......!"
semakin banyak gedung
kau jadi babu
sudah terbangun pabrik
kamu mesinnya
kini berdiri gedung
seribu angkuh
kita belum merdeka
ladangnya habis
tak ada kata maju
tak ada malu
padahal kursi terbang
diambil orang
penyair tulis sajak,
"tanah dirampas !"
ditanah tua sudah
hilang dirampas
culas bengis dan sadis
ada di kita
banyak insan tergusur
sejarah kabur
jalan dipipir kasir
bangsa terusir
tak ada gaung agung
rebah bersarung
langkah menggapai restu
bandung yang bingung
berbalut pasrah kalah
mengumjpul hitam
tidur panjang tak bunyi
semua diam
banyak ragu melaju
bisu tak maju
tersingkir dan terusir
hidupnya nyinyir
ditanahnya leluhur
hina menggempur
tanah leluhur pindah
pribumi musnah
bisu dipinggir desa
menyerah kalah
berteman kepedihan
tinggalkan pahit
burung hinggap tak terbang
langit menangis
bunda tetap dirumah
sejahteralah
dituntun bunda jua
hidup dewasa
penderitaan panjang
kasih tak pulang
ada tangis merintih
rindu pelukan
tiap hari sendiri
merajut sepi
ditulis sendirian
penyair tua
dibaca tengah malam
disusul tangis
isuk teruskeun deui
ayeuna cape
rek neangan mitoha
manawi aya
loba beja saktina
aya di garut
hayang nganjang ka anjeun
can aya bekel
panggeulisna sadunya
ngan sok dudunya
asa linglung lengkahna
bingung anjeun na
bertaut pada waktu
dalam jemputmu
diseret angin gunung
hatimu beku
lalu dia terlantar
dijalan pilu
kamu memenuhi janji
malah onani
padahal bantal kumal
dasar pembual
tak mengubah sikapku
selamat tinggal
keraguan hatimu
baiknya pergi
disini ada kata
cinta abadi
yang hijau nan elok kau
tiup seruling
mungkin ada mimpimu
pengganti rindu
sendirian nunggu hati
jarang kembali
kepenjuru hatiku
bagai wajahmu
jalan dihutan rindu
harap jumpamu
tergeletak dijalan
mati merana
langkah ponggah sang tokoh
metik amarah
menghindar rasa sepi
berteman angin
tidak merdu ke kalbu
katanya palsu
ditatap rasa hampa
hilangnya makna
melawan dan berontak
mencumbu angin
berhari hari nangis
direngkuh getir
berbalut angin dingin
wajahnya redup
saat menjejaki tapak
perjalanannya
tunas dan menyirami
supaya tumbuh
semua siang juga
segenap malam
tertuju pada musim
panen kan tiba
dikumpul bakul harap
suara jerih
butir buah tenaga
sungguh kecewa
dengan para mandornya
yang bergembira
tertawa dikursi dan
meja dusta
telah dirampas kasta
politik keji
semuanya yang besar
dulunya kecil
tiada bisa tidur
entah kenapa
ingat slalu ke dia
jatuh cintakah
seakan tak berhenti
datang mengganggu
diwajahnya yang ayu
tampilan Ratu
terlalu kering bila
tanpa ceriamu
dia terbuai lalu
mabuk kasmaran
nanti kepala pusing
bicara ngawur
kamu pergi kesana
jangan kembali
mau membongkar akal
hanya membual
kamu kasmaran lagi
pergilah kamu
menanti hujan reda
dan kamu datang
simpan jangan dipakai
tuk perang nanti
bentuk rayu merajuk
dan itu racun
membasahi rambutmu
tidak ke hati
untuk Angklung semua
dan juga aku
dari negeri seberang
selalu subur
tak pernah parah luka
karena aku
suara pohon Bambu
melirih sendu
tertiup angin dingin
berisik sunyi
hijau kuning dan hitam
perhatianku
Bambu bambuku pilu
karena kamu
bersama Angsa putih
hatinya putih
siapa makan siapa
serba bisa
bersilat lidah dalam
kata kalimat
bercerita rencana
berhari hari
siapkan santap siang
siapkan caci maki
di siang hari
membasahi selimut
di ranjang dingin
bergaya tukang obral
dasar Pembual
di saat menatap mu
peluklah daku
ikhlasku kepada mu
dan kepada Mu
seluruh perilaku
sampai pada Mu
pada para pembohong
turun semua
diri yang tersembunyi
ku harapkan mu
mengguncangkan jantungku
menghias mimpi
mengguncang jantung aku
menghias mimpi
menjelma cinta kasih
nikahi kamu
bagai cermin kecewa
bengis dan rakus
diri yang tersembunyi
ku harapkan mu
semua orang menyerbu
dan jadi Babu
semua mata tertuju
lahirkan Hantu
bersilat dalam muslihat
semuanya bangsat
Bersilat dal muslihat
Semuanya Bangsat
para penyembah berhala
di isi kata
No comments:
Post a Comment