TENTANG HAIKUKU

haikuKu merupakan grup bebas-terbuka. Haiku (俳句?) adalah puisi asli dari Jepang, yang merupakan revisi akhir abad ke-19 oleh Masaoka Shiki dari jenis puisi hokku (発句?) yang lebih tua. Namun puisi mikro ini sudah menjadi milik dunia, siapapun berhak menulis haiku atau hokku. Haiku tidak hanya Matsuo Basho (1644–1694), Onitsura (1661–1738), Yosa Buson (1716–1783), Kobayashi Issa (1763–1827), tapi juga James W. Hackett, Jorge Luis Borges, Cid Corman, Allen Ginsberg, Dag Hammarskjöld, Jack Kerouac hingga Octavio Paz. Mari lewat grup ini kita berapresiasi dan berkarya mendalami haiku. HaikuKu menganut model haiku yang berpola 17 sukukata dalam patron 5-7-5, yaitu:5 suku kata pada baris pertama,7 suku kata pada baris kedua, 5 suku kata pada bari ketiga. Untuk kata ulang tetap dihitung penuh, hati-hati = 4 sukukata, kemana-mana = 5 sukukata, penulisan angka dihitung kata ucapannya, 1 dibaca “satu” = 2 sukukata, 10 dibaca “sepuluh” = 3 sukukata. Untuk kata-kata interjeksi tidak diperkenankan, misal “ah”, “ih”, “hi..hi..”, “hu...hu...”, “ha..ha...ha..”, HaikuKu tidak mengenal rima, irama, namun jika memang diperlukan tidak masalah, haikuKu harus memiliki dasar tradisi budaya Indonesia maupun kedaerahn dalam spiritnya, tidak mewajibkan harus ada penanda musim (Kigo) seperti salju, angin, pagi, batu, air, awan, gunung, rumput, namun jika itu diperlukan tidak masalah, penekanan HaikuKu lebih pada perekamam momentum (suasana , situasi, peristiwa), sensasi pikiran, memiliki kata-kata kias, imaji dan metafora, kekuatan diksi, tidak harus membentuk kalimat diantara barisnya dan memiliki rasa bahasa keindonesiaan. HaikuKu membebaskan pada setiap anggota untuk sekreatif mungkin dalam penampilannya dengan menggunakan gambar background (latar) sebagai daya tarik. Tunjukkan “Ini haikuKu mana haikuMu”

Grafis

Grafis
Haiku Grafis Oceana Lpughie

Thursday 18 December 2014

Kumpulan Haiku Henda Surwenda Atmadja (1)



Kumpulan Haiku Henda Surwenda Atmadja


· 
cahya mentari
membias keresahan
memucat pasi




perjalananmu
dipenuhi angin syurga
nutupi hati





dengan bersedih
susuri kenangannya
cinta yang hilang




tangis kemarin
memungut rindu lama
sekarang senyum


merenung diri
umur kian berkurang
ingat yang lalu




pergimu lama
melupakan kecewa
namun sadarlah

 · 
di waktu esok
gemuruh kasih terbit
met hari ibu




· 
biarkan kering
luka mu pasti hilang
seiring waktu




tak perlu marah
menyesal juga jangan
biar berlalu




mandi di pagi
basahi tubuh lama
meraba diri

cinta yang gelap
matahari dan bulan
jadi gerhana




dibalik awan
matahari dan bulan
sedang bercinta




bintang mengintip
matahari dan bulan
bercinta alam





malam pun datang
matahari merebah
tiduri bulan





fajar menghilang
seiring datang siang
menjemput sore

meresap kalbu
ucap kata bak bunga
nasehat ibu




tutur yang syahdu
dikala rasa gundah
doanya ibu




sosok periang
liuk tubuh yang indah
punya suami




sekilas nampak
melambai lempar senyum
getir tersimpan




hanya gambarnya
memberikan bayangan
gelap nun jauh




kejar berlomba
antarkan hawa nafsu
angin didapat




lempar harapan
mengikuti kehendak
nyata adanya




berpegang siang
jalan dikehidupan
tak sampai jua




tiduri waktu
mengingat jejak lalu
catatan kelam




wangi melayang
merpati ikut awan
tinggalkan sedih

otak merusak
tampilan badan bandit
beban negara


jenuh menunggu
melati dekap sepi
janji tak tepat




dimalam kelam
hati terkena hujam
kasih berpaling




sastrawan kumpul
hati bosan bersajak
tak mau nulis




pujangga besar
banyak bersabar koar
menolak barbar




pujangga lesu
syairnya tidak didengar
tokohnya tuli



suara parau
penyair tua marah
kalian bohong !




gada dan godam
simpan dibara dendam
pengadilanmu




biang masalah
mereka yang serakah
dipemerintah




dendam tlah tiba
harus diusir dalam
otak dan hati




mengenang kamu
sejuta dusta lintas
dalam benakku




mentari senja
coba lepas ingatan
dia penipu




harus melawan
apabila pribumi
dijajah lagi




kobarkan lagi
semangat perjuangan
tuk anak cucu




perjalananmu
catatan patriotik
sosok pejuang




burung garuda
tidak akan menjadi
seekor nuri

seekor nuri
tidak akan seperti
burung garuda




siang dan malam
pikir uang dan harta
sebuas macan




sosok pengabdi
digempur kasih palsu
jadi bayaran




dipasang tarif
berkejaran setoran
penuh berdagang




lautan ilmu
biasa ngalir benar
sekarang nanar




orang disana
yang kerja dan yang bunyi
boneka juga




tidak gemuruh
bahkan tertidur panjang
lantangnya hilang




berdiri kamu
pada posisi kamu
supaya jelas




berdebat bisu
digedung buku ilmu
pingsan melulu




bongkar hatimu
yang slalu terpenjara
dalam dustanya




lupakan nilai
mengejar tarif harga
materialis




kalimat sayat
tidak bisa diingat
rakyatnya mabuk




banyakan mimpi
pikiran terbang tinggi
tidak membumi




kegenitanmu
tidak mampu merubah
keadaanmu








kalimat sedap
asyik ngalir merapat
tipuan dahsyat







kau yang tak jelas
pergi kesana sini
ikuti angin


kalimat sayap
adu merdu dirakyat
tipuan lalu




saling menyerang
adu kata bicara
kalimat nipu




berlomba dusta
tembok berbintang langit
politik kini




siang yang panas
dikota baru kusut
berhambur peluh




dicafe cafe
dosen dan mahasiswa
berdusta ria
dicafe cafe
mahasiswa diskusi
rakyat kelaparan




cafe dan cafe
memenuhi pikiran
pemuda nongkrong




dosen usaha
mahasiswa dicafe
negara bangkrut




papi dan mami
anak bangga di cafe
terbawa angin

papi dan mami
anak bangga di cafe
nilainya kabur




ditiap tempat
cafe dan kaum muda
sejarah mati




ditiap tempat
cafe dan kaum muda
saling bodohi




ditiap tempat
cafe dan kaum muda
saling memberi
ditiap tempat
cafe dan kaum muda
kadang semarak




ditiap tempat
cafe tak pernah kosong
membuang waktu




kutengok kampus
mahasiswa tertidur
dosen berbisnis




memang kualat
asli tak hebat kuat
semua impor




canda negeri
siapa yang memimpin

mendekap mulut
sendiri tak bicara
biarkan kerja

tenangkan jiwa
kebijakan pro rakyat
berikan jalan
tergulung ombak
wanita itu dilaut
sesali diri
jauh disana
kau tak peduli lagi
biar sepiku
cucur keringat
basahi tubuh lesu
kejamnya kerja
biduk melaut
diatasnya camar terbang
tersapu angin
dilaut lepas
perahu tanpa dayung
diayun ombak
dilaut lepas
perahu tanpa biduk
diayun ombak




lentera kata
berlayar ombak harap
menepi karang
berkali kerja
ingin raih yang baik
nasib tak tentu




lelah gak habis
kejar hidup tiada
kunjung sempurna

sejuta sastra
bertebar di istana
hanya hiasan
kantin sekolah
redup disudut sepi
terganti cafe
berbaur ilmu
berbaur berkreasi
berkompetisi
kaum marjinal
pasif berdiam diri
perlahan mati
bekalnya dusta
gagas berdaya bangsa
rugi negara
merinding ngeri
tanah air digali
mereka beli

mereka sadis
semua babat habis
kita yang bodoh
muslihat apa
dongeng mereka juga
kita hampasnya

pemuda cafe
mahasiswa di cafe
mikirnya cafe
pujangga kere
sastranya tak dipake
sejarah bangke
pusat pikiran
bergedung juta buku
obrolan cafe
siapkan diri
besok turun kejalan
berdemontrasi
kampus sekarang
dihuni putra putri
mami dan papi
belajar baca
dicafe cafe kota
berkawan wifi
suara lantang
tak ada lagi bunyi
beberkan jerit
study kini
tampilkan laptop baru
pameran gaya
siapkan diri
besok kita kejalan
berdemontrasi
tarik kembali
ketika kata putus
terlontar lirih
kamu dimana
ku sedang kelelahan
tolong hampiri
silang sengketa
bibir, lidah, dan kata
mencari makna

dikampus itu
anak mama dan papa
berpesta pora
meminum kopi
dicafe cafe kota
bercanda ria
dikampus itu
mahasiswanya lupa
dunia nyata
gelisah kita
bila jadi pemimpin
bermulut palsu
menaruh harap
pada elit kuasa
esok merdeka
apa dikata...
Like ·  · Share · 3
kaum terdidik
mabuk tertidur lelap
ilmunya terbang
menara gading
dulu banyak disinggung
karena asing
menara gading
sekarang banyak minat
yang jadi mesin
luka menganga
ditubuh para dosen
kampusnya roboh
siswanya lari
kembali jadi anak
mama yang manja
pujangga gila
berpantun, ada uang
korupsi ria
tiada uang
republik bisa jadi
dijual pula




gurunya palsu
sekolah libur terus
muridnya gila




lingkungan rusak
izin bangun semarak
tanahku retak

tidak berani
melawan dan berontak
dijajah lagi




bbm naik
mahasiswa tiarap
rakyat merana




ilmuwan itu
sangat tekuni ilmu
muridnya bisu

sastrawan itu
menjerit sampai langit
"kertasku hilang......!"




dikota baru
semakin banyak gedung
kau jadi babu




dikota lama
sudah terbangun pabrik
kamu mesinnya



kebun kakekmu
kini berdiri gedung
seribu angkuh



tuliskan kata
kita belum merdeka
ladangnya habis



pasundan lesu
tak ada kata maju
tak ada malu


priangan diam
padahal kursi terbang
diambil orang



dalam puisi
penyair tulis sajak,
"tanah dirampas !"



bersenda gurau
ditanah tua sudah
hilang dirampas



imperialis
culas bengis dan sadis
ada di kita




tanah leluhur
banyak insan tergusur
sejarah kabur



kaum pribumi
jalan dipipir kasir
bangsa terusir



bandung yang bingung
tak ada gaung agung
rebah bersarung



jauh tertinggal
langkah menggapai restu
bandung yang bingung



bunyi kepinggir
berbalut pasrah kalah
mengumjpul hitam



priangan lelap
tidur panjang tak bunyi
semua diam

pasundan sendu
banyak ragu melaju
bisu tak maju

pribumi minggir
tersingkir dan terusir
hidupnya nyinyir



kalah bertarung
ditanahnya leluhur
hina menggempur


terusir kalah
tanah leluhur pindah
pribumi musnah



hidup tersudut
bisu dipinggir desa
menyerah kalah


melangkah jauh
berteman kepedihan
tinggalkan pahit



awan berarak
burung hinggap tak terbang
langit menangis



ayah melangkah
bunda tetap dirumah
sejahteralah



digenggam ayah
dituntun bunda jua
hidup dewasa
kamu cerita
penderitaan panjang
kasih tak pulang



disaat hujan
ada tangis merintih
rindu pelukan


kasihnya jauh
tiap hari sendiri
merajut sepi
puisi sunyi
ditulis sendirian
penyair tua
sebuah pantun
dibaca tengah malam
disusul tangis

geus heula ah
isuk teruskeun deui
ayeuna cape
ka majalaya
rek neangan mitoha
manawi aya
dahan kaboa
loba beja saktina
aya di garut
acan kasorang
hayang nganjang ka anjeun
can aya bekel
wanoja sunda
panggeulisna sadunya
ngan sok dudunya
Like ·  · Share · 2
kamana jalan
asa linglung lengkahna
bingung anjeun na
nasib penunggu
bertaut pada waktu
dalam jemputmu
tertutup kabut
diseret angin gunung
hatimu beku

syurganya hilang
lalu dia terlantar
dijalan pilu
mimpi menanti
kamu memenuhi janji
malah onani
dibilang kapal
padahal bantal kumal
dasar pembual
kepastianmu
tak mengubah sikapku
selamat tinggal
bosan berharap
keraguan hatimu
baiknya pergi




seakan lupa
disini ada kata
cinta abadi




dipadang rumput
yang hijau nan elok kau
tiup seruling
malam merebah
mungkin ada mimpimu
pengganti rindu

dikota jauh
sendirian nunggu hati
jarang kembali




ratna bersinar
kepenjuru hatiku
bagai wajahmu




aku tanpamu
jalan dihutan rindu
harap jumpamu




satu persatu
tergeletak dijalan
mati merana

berjudi dalam
langkah ponggah sang tokoh
metik amarah
lari tak henti
menghindar rasa sepi
berteman angin
alunan lagu
tidak merdu ke kalbu
katanya palsu




tontonan itu
ditatap rasa hampa
hilangnya makna
semakin liar
melawan dan berontak
mencumbu angin




Lukanya panjang
berhari hari nangis
direngkuh getir




Pelangi senja
berbalut angin dingin
wajahnya redup

Getir dan merintih
saat menjejaki tapak
perjalanannya

banyak menyemai
tunas dan menyirami
supaya tumbuh

seluruh hari
semua siang juga
segenap malam

tercurah lepas
tertuju pada musim
panen kan tiba

dipetik hasil
dikumpul bakul harap
suara jerih

Saat dihitung
butir buah tenaga
sungguh kecewa

majikan itu
dengan para mandornya
yang bergembira

Ijon bersuka
tertawa dikursi dan
meja dusta

Hasil kerjanya
telah dirampas kasta
politik keji
Ingat ingat ya
semuanya yang besar
dulunya kecil
(dari Teddy Wibisana/Mak Erot)

Di malam ini
tiada bisa tidur
entah kenapa
tiap saatnya
ingat slalu ke dia
jatuh cintakah
yang jelas risau
seakan tak berhenti
datang mengganggu
Matanya sayu
diwajahnya yang ayu
tampilan Ratu
Hari hariku
terlalu kering bila
tanpa ceriamu
Dengan dongengmu
dia terbuai lalu
mabuk kasmaran

Jangan kau Catur
nanti kepala pusing
bicara ngawur

Sudahlah sudah
kamu pergi kesana
jangan kembali

Mulutmu besar
mau membongkar akal
hanya membual
Aku tak tahu
kamu kasmaran lagi
pergilah kamu

Sore hariku
menanti hujan reda
dan kamu datang

Bambu yang runcing
simpan jangan dipakai
tuk perang nanti


Rengek manjamu
bentuk rayu merajuk
dan itu racun

Hujan yang turun
membasahi rambutmu
tidak ke hati

Bambu yang hitam
untuk Angklung semua
dan juga aku

Bambu yang kuning
dari negeri seberang
selalu subur


Pohon Bambuku
tak pernah parah luka
karena aku
·  · 

Dimusim hujan
suara pohon Bambu
melirih sendu

Serumpun Bambu
tertiup angin dingin
berisik sunyi

Bambu bambuku
hijau kuning dan hitam
perhatianku

Aku tak mau
Bambu bambuku pilu
karena kamu
Bidadari putih
bersama Angsa putih
hatinya putih

Mulut terlatih
siapa makan siapa
serba bisa

Mulut terlatih
bersilat lidah dalam
kata kalimat
merangkai dongeng
bercerita rencana
berhari hari

Mulut terlatih
siapkan santap siang
setiap hari

Mulut terlatih
siapkan caci maki
di siang hari

Tangis pagimu
membasahi selimut
di ranjang dingin

Janji mu besar
bergaya tukang obral
dasar Pembual

Desah napasku
di saat menatap mu
peluklah daku




Kerelaanku
ikhlasku kepada mu
dan kepada Mu

Top of Form


Bottom of Form


Di antar waktu
seluruh perilaku
sampai pada Mu

Top of Form


Bottom of Form

Acungkan tinju
pada para pembohong
turun semua

Di hening hati
diri yang tersembunyi
ku harapkan mu


Top of Form
LBottom of Form
Sosok tubuh mu
mengguncangkan jantungku
menghias mimpi
Top of Form

Sosok tubuh mu
mengguncang jantung aku
menghias mimpi
Top of Form
Bottom of Form


Pengabdianku
menjelma cinta kasih
nikahi kamu

Top of Form
Liar binal mu
bagai cermin kecewa
bengis dan rakus
Top of Form
Bottom of Form

Dikeheningan hati
diri yang tersembunyi
ku harapkan mu

Lemparkan Dadu
semua orang menyerbu
dan jadi Babu
Top of Form
Bottom of Form

Di kotak itu
semua mata tertuju
lahirkan Hantu
Top of Form
Bottom of Form
Merangkai kalimat
bersilat dalam muslihat
semuanya bangsat
Top of Form
Bottom of Form
Merangkai kalimat
Bersilat dal muslihat
Semuanya Bangsat
Top of Form
Bottom of Form

Semua Meja
para penyembah berhala
di isi kata


 

No comments:

Post a Comment

Grafis Yanto

Grafis Yanto
Haiku Grafis Sudiyanto Admipro

Kumpulan Haiku Aghan S Parmin

Aghan S Parmin
malam datanglah
hati sunyi meraja
pintu bukalah

sampit, 12 2014

bintang berkedip
malam bak rahim bunda
mengadam-hawa

sampit, 12 2014

subuh mengembun
pagi tabur cahaya
burung terbanglah

sampit, 12 2014

malam meluruh
gelap menyimpan intan
bumi terengkuh

Sampit, 12 2014

gelembung busa
angin riuh berlalu
tangan kosonglah

sampit, 12 2014

layang melayang
dalam kendali tangan
aku layang kau

sampit, 12 2014

disinar bulan
daun sepuhan perak
hanyutku haiku

sampit, 12 2014

bulan cemerlang
bumi indah cahaya
aku dalam Hai

sampit, 12 2014

sehabis hujan
pohon-pohon menghening
batu tak gigil

sampit, 12 2014

Ed Jenura

Ed Jenura
Haiku Grafis Ed Jenura

Yuharno Uyuh


HAIKU 1

Menerjang peluh
Meregang tangis zaman
Kelu menahun


HAIKU 2

Tangis sang renta
Langit pekat bergetar
Anak pendosa

HAIKU 3

langit memerah

di pusara istana

gagak menjerit


HAIKU 4

merenda mimpi
raih setumpuk toga
mati berdasi


HAIKU 5

tangis sang ibu
di keheningan malam
langit bergetar


HAIKU 6

di sudut panggung
kecapiku membisu
gitar berjingkrak



Catatan Lutfi Mardiansyah

HAIKU DAN KETIADAAN PUSAT

Terlepas dari aturan atau pakem-pakem haiku, baik itu haiku klasik maupun haiku modern, dalam tulisan singkat ini saya ingin membicarakan satu hal mengenai haiku, yaitu “ketiadaan pusat”. Yang saya maksudkan adalah, dalam konteks ini, kata “pusat” bersinonim dengan “gagasan utama”. Dengan demikian saya ingin membahas ketiadaan gagasan yang, di dalam haiku, terkesan tidak terlalu penting, bahkan seringkali—secara ekstrim—ditolak. Logikanya, ketika gagasan pada sesuatu ditolak, maka ia menjadi sesuatu yang “tanpa gagasan”.

Sebagaimana jenis-jenis puisi seperti diwan, kasidah, ghazal, seringkali digunakan sebagai wadah ekspresi dari ajaran-ajaran sufisme, haiku seringkali dikaitkan dengan ajaran zen. Banyak penyair yang juga penganut ajaran zen menulis koan-koan mereka dalam bentuk haiku—walupun tidak semua. Karena zen dikenal sebagai filsafat kekosongan atau ketiadaan, atau ekstrimnya anti-filsafat, dalam hal ini haiku menjadi semacam perpanjangan dari ajaran tersebut.

Lalu apa yang ditawarkan haiku jika ia tidak menawarkan sebuah gagasan? Jika kita melihat bahwa dari segi isi puisi terbagi ke dalam dua jenis, yakni puisi-gagasan dan puisi-suasana, bisa jadi “suasana”-lah yang dalam hal ini hendak ditawarkan oleh haiku. Haiku menyediakan wadah bagi sesuatu yang “bukan dipikirkan” melainkan “dinikmati”. Haiku menyediakan wadah bagi fragmen-fragmen yang cenderung bersifat impresif daripada kontemplatif. Potongan suasana yang tiba-tiba, yang terlepas dari sebuah mula dan tidak terselesaikan.

Analogi sederhananya sebagai berikut: “seseorang membuka pintu”. Seperti itulah haiku. Haiku tak mengurusi dari mana orang itu sebelum dia membuka pintu dan akan ke mana dia setelah membuka pintu. Haiku hanya menangkap impresi-impresi semisal bunyi derit pintu ketika dibuka.

Dalam fokus pembahasan tersebut saya ingin mengetengahkan haiku karangan Isbedy Stiawan Z S untuk melihat bagaimana ketiadaan gagasan di dalam haiku. Berikut ini haiku-haiku tersebut:

dan hujan tandang
menyeret lampu padam
malam pun hitam

Pada haiku tersebut, Isbedy melukiskan sebuah potongan suasana yang tersusun dari “hujan”, “lampu”, dan “malam”. Di haiku ini Isbedy hanya menggambarkan bagaimana hujan datang (dan hujan tandang), kemudian hujan tersebut “seolah” membuat lampu-lampu padam (menyeret lampu padam) dan ketiadaan penerangan ini mengakibatkan malam menjadi gelap (malam pun hitam). Sudah. Tapi, apakah selesai sampai di situ? Apakah haiku ini hanya menawarkan potongan kejadian, sebuah puzzle berupa “hujan” yang ber-“tandang”, dan—mungkin—saking lebatnya hujan tersebut hingga ia seperti tirai tebal yang menghalangi pandangan kita dari nyala lampu, seolah-olah “lampu” itu “padam” dan hujan itulah yang membuatnya padam, serta pada gilirannya hal tersebut membuat “malam” menjadi gelap, seluruhnya berwarna “hitam”?

Apakah selesai sampai di sana dan hanya seperti itu saja?

Sebab jika kita melakukan pembacaan hermeneutik terhadap teks haiku tersebut maka hasilnya akan lain. Dengan berpegang pada kemiripan konsep, kita bisa membaca “hujan” sebagai suatu “kesedihan”, lalu “lampu (yang) padam” itu sebagai “hilangnya kegembiraan”, kemudian “malam” yang disandingkan dengan “hitam” itu sebagai “kehidupan” yang disandingkan dengan “derita”. Dengan demikian, jika teks haiku tersebut kita baca secara hermeneutik, bisa jadi salah satu tafsiran yang muncul adalah, bahwa haiku tersebut menggambarkan tentang kesedihan yang datang selalu membuat kegembiraan terhapus dan kita merasa hidup kita penuh derita. Justru di sini muncul sebuah gagasan, setidak-tidaknya gagasan mengenai kesedihan sebagai sesuatu yang melenyapkan kegembiraan, bahwa dua hal tersebut—kesedihan dan kegembiraan—ada dalam kerangka oposisi biner di mana, walaupun saling melengkapi, keberadaan yang satu selalu melenyapkan yang lainnya.

Sebagai penutup tulisan singkat dan sederhana ini, saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan yang timbul atas masalah tersebut di atas untuk selanjutnya—mungkin—bisa dijadikan bahan diskusi atau kajian yang lebih menyeluruh: Apakah ketiadaan pusat di dalam haiku itu suatu realitas yang segera terhapus begitu ia berhadapan dengan teori dan metode pengkajian sastra? Ataukah ini adalah sesuatu yang melampaui hal-hal ilmiah dan akademis tersebut? Sesuatu yang sifatnya esoterik?***

Denny Cholid Rachmat Awan

Semoga bermafaat bagi saya pribadi dan saudara2ku, sabahat2ku, sebagai pengetahuan yang perlu juga dikoreksi oleh saudara2ku di grup Haiku oleh :
Kang Kang Soni Farid Maulana, Kang Diro Aritonang, Kang Yesmil Anwar, Kang Yusef Muldiyana, Kang Igun Prabu, Kang Hikmat Gumelar, Bang Arsyad Indradi, Kang Beni Setia, dan kawan-kawan yang tidak saya sebut semua disini, bilamana ada kekurangan2 mohon dimaafkan tulisan saya ini hanya sebagai refresh saja, dan saya bersyukur semoga dengan kehadiran Kang Lutfi Mardiansyah disini sangat penting buat kita di Haiku bukan sekedar busa dan gincu. Sedikit pengetahuan bagi saya tentang "HAKIKAT KRITIK" semoga kawan-kawan bisa menambahkan dan koreksi : Kritik berasal dari bahasa Yunani, yaitu “Krinein” yang artinya memisahkan, merinci. Dari bidikan yang dihadapi dengan kenyataannya orang membuat suatu pemisahan, perincian antara nilai dan yang bukan nilai, yang baik dan yang jelek, namun bukan hanya arti susila saja, perlu landasan-landasan untuk menyoroti dalam arti yang sangat luas terhadap menentukan suatu ukuran nilai, yaitu nilai dalam penafsiran, nilai dengan ilmu, kaidah-kaidah atau norma yang menjadi pedoman secara sistematis. Persoalan kritik mempunyai kedudukan yang sangat penting pada kehidupan sosial manusia, karena kritik adalah sebagaimana orang memberikan penilaian atas nilai. Dalam tata kehidupan demokrasi masyarakat, kritik sangat dibutuhkan untuk menilai tentang kebijaksanaan para pemimpin dan para penguasa secara kritis. Seperti terjadi dalam suatu pemilihan umum, yaitu sebagai contoh pemilihan kepemimpinan melalui partai-partainya. Kritik menyoroti wilayah-wilayah tertentu dari suatu praktek kemanusiaan dalam sosialisasinya. Tanpa kritik belum tentu suatu cita-cita sesuai hasil dengan pencapaian harapannya.
Kritik dilontarkan dengan positif ataupun negatif bagai cambuk seakan-akan menjadi penghambat atau ancaman yang dianggap pengrusakan citra pada para pembuatnya, pada sistem struktural sebuah organisasi atau perseorangan dari sebuah nilai kesucian dan kemurnian hasil karya. Bisa juga kritik menjadi doping atau stimulus untuk mencapai harapan masa depan lebih baik dari yang sudah-sudah. Seorang kritikus sudah tentu harus mengerti hakekat kritik, sifat-sifat kritik dan persyaratan bagaimana melakukan kritik. Kendati demikian bukan tugas yang mudah ketika kritik itu harus diutarakan dan bahwa kritik yang benar adalah suatu nilai dasar untuk kemajuan eksistensi perbuatan kemanusiaan. Menjadi seorang kritikus berkualitas mempunyai disiplin ilmu untuk mempelajari dan memahami bagaimana menyoroti dan melontarkan kritik-kritiknya supaya tepat sasaran terhadap yang dinilainya atas perbuatan-perbuatan yang bisa ditangkap dan tidak bisa ditangkap oleh pancaindera, seperti yang dilakukan seorang filsuf, agamawan dan masyarakat religius secara spirituil berfikir tentang ketuhanan. Bagaimana kita mengkritisi terhadap seorang hakim menvonis perbuatan seorang terdakwa, pemimpin negara mengatur rakyatnya, seorang seniman bagaimana ia menghasikan karya seni yang diciptakannya. Demikian macam-macam kritik diarahkan bukan serta merta seorang kritikus menjadi dewa terkesan lontaran caci-maki, opini, bisikan-bisikan, gunjingan sebagai kutukan yang gerah, akan tetapi menjadikan spirit dan titik terang mendorong lebih maju untuk melahirkan formula-formula baru dan inovasi pada kemajuan bangsa dan negara, serta satu contoh pada karya seni lebih bermutu sekaligus eksistensi para senimannya. Salam Haiku.

TULISAN HIKMAT GUMELAR

DI KUBUR ATAU DI RANJANG?
Ilmu pengetahuan bekerja dengan klasifikasi. Kerja ini
memungkinkan abstraksi. Abstraksi memungkinkan teori dan metodologi. Teori dan metodologi memberi jaminan pasti. Tapi klasifikasi kerap hanya mengambil salah satu identita
s realitas dan menjadikannya arca yang diklai sebagai satu-satunya identitas. Identitas-identitas realitas yang lain kerap sengaja ditindas demi kemudahan dan kerapihan melakukan klasifikasi dan abstraksi, menyusun teori dan metodologi.
Maka, ilmu pengetahuan potensial menyesatkan, potensial menghancurkan. Sajarah bahkan sudah banyak membuktikan kebiadabannya. Misalnya, antropologi pernah lama menganggap bahwa bangsa-bangsa di luar Eropa adalah bangsa primitf, tidak beradab, karenanya mesti diadabkan. Ilmu sejarah sendiri
selama berabad-abad menganggap bahwa sejarah adalah rekonstruksi masa silam berdasarkan arsip. Di luar arsip, bukan sumber sejarah. Dan sejarah yang disusun berdasarkan sumber-sumber lisan dianggap bukan sejarah, dianggap sebagai
tahyul. Anggapan ini memungkinkan lahirnya kolonialisme dan neokolonilisme yang hingga hari ini masih terus beroperasi.
Potensi buruk ilmu pengetahuan akan semakin besar jika
melihat kondisi hari ini. Ini hari arus perubahan sebegitu deras. Informasi melebihi gelombang tsunami. Gelombang tsunami menerjang dalam rentang waktu tertentu yang tak berlebih mungkin jika disebut cukup lama. Dan datangnya dari satu arah. Sementara gelombang informasi ini hari meluap dan menyergap di setiap
tarikan napas dan dari berbagai arah. Ini kondisi yang memungkinkan semakin banyak orang seperti ditulis Chairil Anwar dalam “Catatan Th. 1946:
Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang
Karena itu, yang disebut data-data sekalipun, yang disebut
fakta-fakta sekalipun, selalu hanya sejumput. Hal ini karena pengumpulannya dilakukan seperti oleh “anjing diburu”. Begitu pula perenungannya, yang karuan bukan di tepian tasik yang tenang, melainkan di tengah arus deras perubahan dan luapan dan sergapan gelombang informasi dari berbagai arah yang tak sudah-sudah. Belum lagi jika mengingat bahwa yang dinamakan “data” dan “fakta” adalah buah kesepakatan segolongan orang. Segolongan orang ini tentu saja bukan malaikat. Mereka tida nirkepentingan. Dan mereka pun selalu berada dalam ruang dan waktu tertentu yang karuan pula memengaruhi caranya memandang. Dengan demikian, jikapun ditemukan kebenaran, makna, dan arti, itu senantiasa parsial, senantiasa sementara. Konsekuensinya memang bukan sama sekali menafikan ilmu pengetahun, bukan anti-ilmu pengetahuan. Tapi jauhkanlah sikap menjadikan ilmu
pengetahuan sebagai berhala. Bukalah selalu mata bahkan ketika tidur. Teliti dengan cermat, jernih, dan rendah hati setiap pijakan, langkah, dan temuan. Dunia ini sedemikian luas dan otak siapa pun hanya sekepalan bayi. Perkara bertambah lagi jika yang ditulis Chairil itu benar bahwa “kita hanya melihat dari sebagian sandiwara sekang. Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang”. Ini karena kita di abad ke-21 ini seperti “Anjing diburu”.
Saya merasa perlu menulis begitu setelah membaca teks yang
diniatkan oleh Lutfi Mardiansyah sebagai kritik sastra. Sebetulnya saya enggan masuk dalam perdebatan yang dimulai oleh ayunan palu hakim dan lalu disusul oleh banyak semburan derau. Saya telah mencoba sebentar meredakan meski semata karena saya merasa Lutfi menyapa saya. Percobaan itu saya lakukan dengan
menyelipkan kutipan utuh “Gunung-Gunung”, puisi Emily Dickinson, dalam dalam komentar saya untuk Teh Meycha. Puisi bagus yang diterjemahkan dengan bagus oleh Gunawan Mohamad itu, hemat saya, relevan untuk hadir di tengah ayunan palu dan semburan-semburan derau. Tapi “Gunung-Gunung” itu rupanya tak didaki.
Padahal, seingat saya, saya pun sudah menulis sedikit kisah mengenai kenapa sampai Emily baru dikenal sebagai penyair brilian di Amerika Serikat, bahkan kemudian dunia, setelah dia mangkat.
Sebenarnya komentar Kang Beni Setia sudah menunjukkan kekurangan mendasar dari teks Lutfi itu. Dengan cukup gamblang Kang Beni mengatakan bahwa teks Lutfi itu dibangun di atas pandangan yang menyamaratakan, gebyah uyah. Semua haiku diandaikan “tidak ada pusat”, yang berarti “tidak ada gagasan”.
Jika saja itu dibaca dengan mata terbuka, cukup sudah. Goyah itu yang mengklaim sebagi teks ilmiah. Namun, seperti “Gunung-Gunung”, itu pun seperti dilewat begitu saja. Maka, mencuatlah tanya, kenapa bisa demikian? Apa yang memungkinkannya?
Saya merasa bebal. Saya gagal menemukan jawab. Saya hanya
semata bisa menduga, jangan-jangan muasal perkaranya dari penjadian pemilahan yang populer di tahun 70-an, yakni soal puisi suasana dan puisi gagasan, sebagai pijakan. Dan pemakaian pemilahan ini sebagai pijakan dibeking oleh pandangan mengenai puisi yang terdiri dari isi dan wadah seperti air dan ember. Menurut Lutfi, isi puisi itu ada dua, yakni gagasan dan suasana. Berdasarkannya, disebutkannya lah bahwa semua haiku adalah berisi suasana. Lalu diperkuat dengan menyebut kebertautan haiku dengan Zen yang punya tradisi koan. Saya merasa tak perlu lompat jauh-jauh ke sejarah perkembangan haiku, terlebih dengan mengaitkannya dengan Zen dan koan. Cukup rasanya dengan kita menyoal perkara puisi yang seperti air dan ember serta isi puisi yang terdiri dari suasana dan gagasan. Apakah iya puisi bisa dijadikan
terpisah antara wadah dan isi? Dan, sebenarnya pertanyaan ini tak perlu diajukan karena andaian yang mendasarinya sudah ilusif, apakah iya isi puisi hanya suasana dan gagasan? Apa yang dimaksud gagasan? Apa yang dimaksud suasana? Apa dalam suasana mustahil ada gagasan? Apa dalam gagasan mustahil
mengahdirkan suasana? Apa pula tak ada lain di luar gagasan dan suasana?
Kecuali itu, Lutfhi pun mengklaim memakai hermenetik untuk
menjalankan penafsiran lapis kedua terhadap karya Mas Isbedy. Sementara dia mengatakan bahwa haiku adalah karya tanpa pusat. Jika mau konsisten, menggunakan hermenit untuk mebaca karya yang konon tanpa pusat itu slangkah baik untuk hati-hati. Pasalnya, sila ingat sejarah hermenetik, juga tokoh-tokohnya. Dari situ terang bahwa hermenetik itu mengandaikan adanya kebenaran utama. Itu yang harus diburu. Saya dengar, pendekatan ilmiah itu wajib menjelaskan istilah-isitilah kunci. Penjelasan itu wajib meniadakan acuan ganda, wajib meniadakan mabiguitas. Kewajiban ini rasanya belum dipenuhi Lutfi. Masih banyak yang sebetulnya perlu dipersoalkan. Namun itu saja rasa-rasanya sudah lebih
dari cukup, apalagi dua baris “Catatan Th. 1946” itu sudah sangat terang mengingatkan kita. Atau biar tak terlewat pula kita petik saja lagi, ya:
Kita anjing diburu—hanya melihat dari sebagian sandiwara sekarang/Tidak tahu Romeo & Juliet berpeluk di kubur atau di ranjang

SDFK

KIRIMAN DARI SDFK

Mien Ardiwinata Kusdiman

SDFK # Bayang Bayang Sepanjang Badan #

malam kembali hening
seperti malam kemarin
dan kemarinnya lagi
hujanpun terus menderas
dari malam kemarin
dan kemarinnya lagi
menggigil aku kedinginan
walau sudah berselimut tebal
mestinya kamu ada disini..
tapi aku sangat tahu
kau sudah ada disana
dan aku harus tetap disini
semuanya harus seperti ini
kita berpisah sayang..

hingga larut tak jua aku terlelap
aku tidur dikamar kita
dengan sprei putih berenda
dan aroma bunga sedap malam yang kamu suka
dinding kamar cantik kita
bertaburan kenangan silam
ada kamu dan aku dalam pigura waktu
semua bercerita tentang kita
cerita silam sangat indah
ketika bersamamu..
aku sangat bahagia
walau ada air mata
tak semua tangis artinya sakit
tak semua air mata adalah duka
terimakasih buatmu kekasih
yang telah mengisi indahnya hari hariku
sekian lama.. dengan janji dan cinta tulus
dalam meniti dari waktu ke waktu
hingga pelukan terakhir kita

( revisi puisi celoteh hati - resminiardiwinata - januari 2013 )