Seperti kau pun tahu, Phoenix, kepenyairan senantiasa berpijak di atas tradisi kepenyairan. Dan tradisi kepenyairan yang menjadi pijakannya bisa, atau malah selalu lebih dari satu. Pun tradisi kepenyairan yang menjadi pijakan itu bisa bukan berasal dari negara si penyair. Soneta, misalnya, berasal dari Itali. Namun itu manjadi (salah satu) pijakan para penyair Pujangga Baru. Bahkan sampai kini banyak penyair yang pula menjadikannya (salah satu) pijakan.
Begitu pula dengan haiku. Pengaruhnya terhadap perpuisian Indonesia memang tak seluas soneta. Namun, cukup banyak penyair Indonesia yang mengambil pengaruh dari puisi klasik Jepang itu. Bahkan tak sedikit yang menjadikannya sebagai mata air penulisan. Caranya tak sama. Ada yang mencoba setia seperti, misalnya, Sugiarta Sriwibawa. Penyair yang pernah menjadi wartawan dan Kepala Cabang “Antara’ Tokyo, Jepang, ini tahun 1966 menulis sejumlah puisi yang memperlihatkan kesetiaan pada salah satu konvensi haiku yang paling tampak, yaitu soal jumlah suku kata 5, 7.5. Kita simak empat karyanya.
Yokohama
Berkaca duka
Pelabuhan terbuka
Kubasuh muka
Salju
Pusara bumi
Putih dalam sedekap
Terbujur senyap
Payung
Payung terkembang
Angin badai ditantang
Kabur melayang
Lumut
Ikan terlena
Mata sisik mutiara
Hijau nirmala
Ada juga yang mengambil semangat haiku tapi sengaja mengingkari aturan baku suku katanya. Penyair yang paling menonjol dalam cara ini adalah Wing Kardjo. Penyair yang mangkat di Jepang ini telah menerbitkan karya-karyanya yang demikian dalam satu buku. Dalam buku ini, Wing menulis esai pengantar yang gemilang, yang memperlihatkan pemahamannya yang luas dan dalam mengenai haiku, dan alasan kenapa dia menghianatinya.
Terbanyak adalah penyair yang menulis puisi dengan terinspirasi oleh haiku. Dalam telaahnya yang cemerlang mengenai kepenyairan Sitor Situmorang, Subagio Sastrowardoyo meperlihatkan bahwa sejumlah puisi alit Sitor Situmorang ditulis dengan modus penulisan (seperti) haiku. “Kawan” adalah puisi alit Sitor yang oleh Subagio disebut “hampir sepenuhnya menyerupai haiku”. “Bedanya dengan haiku, hanya pada jumlah suku katanya pada baris kedua.
Kawan
Sunyi terbagi
Jadi percakapan seorang diri
Anatara mata
Seperti pada haiku, sajak-sajak kecil Sitor diresapi oleh keheningan, apa pun yang diperkatakan. Pada haiku, keheningan itu lahir dari sikap keagamaan Budha Zen. Penyair-penyair haiku, seperti Basho dan Ryokan, menciptakan sajak-sajak kecil mereka di dalam saat mereka mencapai satori, yaitu ketika terbuka kesadarannya akan inti kehidupan yang berupa kehampaan, atau yang lebih tepat diterangkan secara berlawanan arti---kehampaan yang penuh, yang dialami oleh jiwa yang berhasil diam. Keterbatasan jumlah kata di dalam haiku meninggalkan kekosongan sebagai suasana yang hening meliputi serta meresapi ucapan haiku. Haiku dapat dipandang sebagai penglahiran jiwa, yang hening menatap segala sesuatu yang ada dan terjadi.”
Subagio lalu mengaku “tidak tahu apakah Sitor terpengaruh oleh haiku dalam menulis sajak-sajak kecilnya. Akan tetapi, tanpa mengenal haiku sedikit pun, Sitor akan sampai juga kepada bentuk pengucapan semacam sajak Jepang itu dengan mengembangkan kepekaannya kepada konotasi kata yang terbukti menjadi pembawaannya yang wajar mengalir dari pribadinya serta dengan mematangkan pengaruh gaya simbolisme yang diterimanya dari sastra prancis”.
Sapardi Djoko Damono seperti Sitor. Penyair produktif dan kreatif ini pun menulis serangkaian puisi alit yang, meminjam perkataan Subagio, “menyerupai haiku”. Mari kita baca secara lengkap “AYAT-AYAT KYOTO”.
/1/
segala yang mendidih dalam kepala
tidak nyata, kecuali sakura
dan kau---tentu saja
/2/
gerimis musim semi---
tengkorakku retak;
kau pun menetes-netes ke otak
/3/
kita sakura---
gugur sebelum musim selesai
tak terlacak pula
Orang seperti Sapardi, yang adalah mantan Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UI, tentu saja tahu betul aturan mengenai jumlah suku kata dalam haiku. Jadi, penulisan “AYAT-AYAT KYOTO”, seperti juga penulisan “AYAT-AYAT TOKYO”, disadari olehnya memang tak sesuai dengan konvensi haiku mengenai jumlah suku kata. Tapi, sila, Phoenix, kembali membuka diri, kembali membiarkan “AYAT-AYAT KYOTO” merasuki. Kukira kau pun akan mencecap rasa haiku dari “AYAT-AYAT KYOTO” itu.
Tentu ini baru sebahagian kecil saja dari cerauanku mengenai haiku dalam pertalian dengan perpuisian Indonesia yang keruan amat luas dan beragam. Namun, kepalaku mulai terasa cenat-cenut ini. Terpaksa kupungkas sampai sini dulu, Phoenix. Lagi pula mungkin saja kau sendiri tak tertarik pada ceracauan begini. Maaf dan terima kasih.
No comments:
Post a Comment